Thursday, May 17, 2007

Etnopolitic Conflict

ETNOPOLITIC CONFLICT , SPARATISME, DAN MASALAH INTEGRASI NASIONAL

Oleh: Dahrun Usman, S. Sos
(Antropolog yang aktif dalam kegiatan Social and Culture Research, sedang menjadi anggota konsultan BAPPEDA kota Bandung untuk riset evaluasi PROPEDA tahun 2000-2004, juga Direktur Pusaka Jatinangor)

Prolog
Masalah integrasi dan sparatisme dalam negara kesatuan yang multietnik dan struktur masyarakatnya majemuk, seperti “srigala berbulu domba” atau penuh ambivalensi (ambigu). Perfomancenya menampakan sebuah keseimbangan (equillibrium) diantara struktur sosial, politik, dan kebudayaannya, tetapi isinya penuh dengan intrik, ketidakpuasan, paradoks, etnosentrisme, stereotipisme, dan konflik sosial yang tidak kunjung selesai. Devid Lockwood telah memperingatkan kita, betapa konsensus dan konflik merupakan dua sisi dari suatu kenyataan yang sama; konsensus dan konflik adalah dua gejala yang melekat secara bersama-sama di dalam masyarakat. Sejarah memberi fakta pada kita semua, India negara yang merdeka pada tahun 1948 selalu dirundung oleh konflik antar etnik, pada akhir tahun 40-an gerakan sparatisme di India menyebabkan terjadinya skisme negara ini dengan bedirinya negara baru bernama Pakistan. Bahkan sampai sekarang India masih menyisakan gerakan sparatis, yaitu etnik Khasmir yang ingin menjadi negara merdeka. Kita juga masih ingat hancurnya negara Yugoslavia di Balkan (Eropa Timur), yang melahirkan pertikaian sengit antar etnik; Zerbia-Bosnia Herzegovina. Afganistan selalu diselimuti oleh asap mesiu dan darah rakyatnya akibat perang saudara (antar etnik) yang tiada hentinya, etnik Pasthun, Usdek, dan yang lainnya saling berebut kekuasaan dan hegemoni kultural. Bahkan negara kecil macam Sri Lanka pun tidak lepas dari rongrongan sparatisme etnik Tamil lewat LTTE-nya yang merasa didiskreditkan dalam peran sosiopolitiknya oleh etnik mayoritas Sinhala. Dan, terkhir adalah gerakan sparatisme yang melahirkan perang antar etnik di benua hitam Afrika di negara miskin bernama Liberia.
Demikian juga Indonesia, negara keempat terbesar di dunia dan masyarakatnya paling plural ini selalu dihantui oleh gerakan sparatisme. Struktur masyarakat Indonesia yang ditandai oleh heterogenitas etnik dan bersifat unik. Secara horisontal ia ditandai oleh kenyataan adanya kesatuan-kesatuan sosial berdasarkan perbedaan suku bangsa, agama, adat istiadat, dan primordialisme. Secara vertikal, struktur masyarakat Indonesia ditandai oleh adanya perbedaan vertikal antara lapisan-lapisan atas dan lapisan bawah. Sejak kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, NKRI selalu dirongrong oleh gerakan sparatisme; masih tertulis dalam benak sejarah kita, gerakan sparatis DI/TII Kartosuwiryo di Jawa Barat, Permesta Kahar Muzakar di Sumatera, APRA, PKI, DI/TII Daud Barureh di Aceh, dan RMS di Maluku yang menyisakan luka lama. Bahkan sampai sekarang gerakan itu masih terus berlangsung di Aceh lewat GAM (Gerakan Aceh Merdeka) dan OPM (Organisasi Papua Merdeka) di propinsi paling timur di Indonesia. Pemerintah Indonesia selalu berhadapan dengan gerakan separatisme, sehingga Indonesia mempunyai peluang yang sama seperti Yugoslavia dan Uni Soviet (almarhum) menjadi negara yang pecah akibat ketidakstabilan kondisi sosiokultural dan politik. Samuel Hutingthon1 pernah berkomentar pada akhir abad ke-20, bahwa Indonesia adalah negara yang mempunyai potensi paling besar untuk hancur, setelah Yugoslavia dan Uni Soviet akhir abad ke-20 ini. Demikian juga Cliffrod Gertz Antropolog yang Indonesianis ini pernah mengatakan; kalau bangsa Indonesia tidak pandai-pandai memanajemen keanekaragaman etnik, budaya, dan solidaritas etnik, maka Indonesia akan pecah menjadi negara-negara kecil.
Kerangka Konseptual
Struktur masyarakat Indonesia yang majemuk (multietnik)2 selalu menimbulkan persoalan integrasi nasional. Pluralitas masayarakat yang bersifat multidimensional itu akan dan telah menimbulkan persoalan tentang bagaimana masyarakat Indonesia terientegrasi secara horisontal, sementara stratifikasi sosial sebagaimana yang terwujud dalam masyarakat Indonesia akan memberi bentuk integrasi yang bersifat vertikal.3 Beberapa sifat dasar yang selalu dimiliki pada masyarakat majemuk sebagaimana dijelaskan oleh van de Berghe adalah;1). Terjadinya segmentasi ke dalam kelompok-kelompok yang seringkali memiliki kebudayaan, atau lebih tepat sub-kebudayaan, yang berbeda satu sama lain, 2). Memiliki struktur sosial yang terbagi-bagi ke dalam lembaga-lembaga yang bersifat non-komplementer, 3). Kurang mengembangkan konsensus diantara para anggota masyarakat tentang nilai-nilai sosial yang bersifat dasar, 4). Secara relatif seringkali terjadi konflik diantara kelompok yang satu dengan yang lainnya, 5). Secara relatif integrasi sosial tumbuh di atas paksaan (coercion) dan saling ketergantungan di dalam bidang ekonomi, dan 6). Adanya dominasi politik oleh suatu kelompok atas kelompok-kelompok yang lain. Menurut Furnivall masyarakat majemuk (plural society) merupakan suatu masyarakat yang terdiri dari dua atau lebih elmen dan tatanan sosial yang hidup berdampingan tetapi tidak terientegrasi dalam satu kesatuan politik.
Suatu pengembangan konseptual yang lebih memadai tentang konsep masyarakat dikemukakan oleh Robhuska dan Shepsle4yang menyatakan bahwa masyarakat majemuk dapat diidentifikasi melalui;1). Keragaman budaya, 2). Komunitas kultural yang terorganisasi secara politik, dan 3). Alienasi etnik. Oleh karena setiap masyarakat memiliki keragaman kultural, maka dua ciri yang terakhir (politik etnik) inilah yang membedakan antara masyarakat pluralistik (pluralistic society) dengan masyarakat majemuk (plural society). Oleh karena konfigurasi strukturalnya, masyarakat majemuk memiliki dua kecenderungan,1). Inklinasi berkembangnya perilaku konflik di antara berbagai kelompok etnik, dan 2). Kecenderungan hadirnya (force) sebagai kekuatan integratif utama yang mengintegrasikan masyarakat.5
Dengan struktur sosial yang sedemikian komplek, sangat rasional sekali Indonesia selalu menghadapi permasalahan konflik antar etnik, kesenjangan sosial, dan sukar sekali terjadinya integrasi secara permanen. Hambatan demikian semakin nampak dengan jelas, jika diferensiasi sosial berdasarkan parameter suku bangsa jatuh berhimpitan (Coincided) dengan parameter lain (agama, kelas, ekonomi, dan bahasa), sehingga sentimen-sentimen yang bersumber dari parameter sosial yang satu cenderung berkembang saling mengukuhkan dengan sentimen-sentimen yang bersumber dari diferensiasi sosial berdasarkan parameter yang lain. Konsolidasi parameter struktur sosial (Concolidated Social Structure) yang demikian menurut Peter Blau merupakan kendala yang paling besar bagi terciptanya integrasi sosial.6 Sementara itu, secara Antropologis diferensiasi sosial yang melingkupi struktur sosial kemajemukan msyarakat Indonesia adalah; pertama adalah diferensiasi yang disebabkan oleh perbedaan ada istiadat (custome diferentiation) hal ini karena perbedaan etnik, budaya, agama, dan bahasa. Kedua adalah diferensiasi yang disebabkan oleh struktural (strucural diferentiation), hal ini disebabkan oleh kemampuan untuk mengakses ekonomi dan politik sehingga menyebabkan kesenjangan sosial diantara etnik yang berbeda. Pada zaman Hindia-Belanda masyarakat Indonesia digolongkan menjadi tiga golongan oleh antropolog Belanda Furnivall; yaitu golongan penjajah Belanda yang menempati tingkat pertama, kedua adalah golongan minoritas Cina, sedangkan golongan pribumi menempati tingkat yang ketiga.
Terlepas dari pendekatan konsep mana yang penulis gunakan, tapi secara substansi semua konsep yang menjelaskan tentang heteregonitas (kemajemukan) ataupun masyarakat yang plural, pada hakekatnya tidak jauh berbeda (congruent). Pada satu sisi kemajemukan menyimpan kekayaan budaya dan hasanah tentang kehidupan bersama yang harmonis, jika integrasi berjalan dengan baik (menurut aksioma; structural fungsionalism approach). Tetapi pada sisi lain, kemajemukan selalu menyimpan dan menyebabkan terjadinya konflik antar etnik, baik yang bersifat latency maupun yang manifest (dalam aksioma, conflict approach) yang disebabkan oleh etnosentrisme, primordialisme, dan kesenjangan sosial.
Etnopolitic Conflict dan Gerakan Sparatisme
Seperti yang sudah dijelaskan dalam kerangka konseptual, bahwa dalam negara kesatuan yang terdiri dari berbagai suku bangsa (etnik), akan sering menghadapi problem persatuan dan kesatuan. Integrasi masyarakatnya sangat sulit sekali untuk diciptakan secara permanen. Salah satu kasus yang selalu muncul kepermukaan adalah etnopolitic conflict, tindakan ini di wujudkan dalam bentuk gerakan sparatisme yang dilakukan oleh sekelompok etnik. Etnopolitic conflict ini disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya adalah watak dari pemerintah kesatuan yang terlalu bersifat sentralistik dan hegemonik. Wajah etnopolitic conflict dapat dilihat dari kasus Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Gerakan ini bukan hanya didasarkan oleh ketidakpuasan secara politik saja, tetapi masyarakat Aceh merasa hak-haknya selama ini “direbut” oleh pemerintah pusat. Rakyat Aceh merasa didiskreditkan—sub-ordinasi—seluruh hasil perjuangannya mengusir penjajah Belanda, tidak bisa mengakses seluruh kekayaan alam yang melimpah di dalamnya, sentimen keagamaan yang sangat kuat, primordialitas yang sangat kuat, latar belakang kesejarahan yang sangat kuat dan khas, serta tingginya etnosentrisme rakyat Aceh. Etnosentrisme inilah yang sesungguhnya paling dominan dan selalu melekat pada rakyat Aceh. Etnosentrisme adalah suatu pandangan yang melekat pada diri seseorang (masyarakat) yang menilai kebudayaan-kebudayaan lain, selalu diukur dengan nilai kebudayaannya7. Pandangan ini pada satu sisi menimbulkan watak egosentrisme, stereotipisme, dan primordialisme sempit. Pemupukan sifat seperti ini yang tanpa batas, pada akhirnya akan melahirkan gerakan-gerakan massif atau sparatisme. Gerakan Aceh Merdeka atau Gerakan Separatis Aceh (GSA) adalah gerakan massif yang penuh dengan heroikisme, massifisme, dan emosi keagamaan (religion emotion) yang sangat tinggi. Gerakan ini adalah kelanjutan perlawanan Daud Beureh terhadap ketidakpuasan pemerintah pusat yang tidak mengakomodasi tuntutan masyarakat Aceh pasca kemerdekaannya.
Kita masih ingat gerakan-gerakan milerianisme, mesianic movement, dan cargo cut yang bersumbu pada etnosentriesme, dan berapi pada ketidakpuasan kelompok etnik (suku bangsa) atas berbagai kebijakan ekonomi, sosial, politik, dan keamanan, yang dilakukan oleh pemerintah pusat. Gerakan-gerakan sparatisme seperti ini dapat kita lihat dari perlawanan Fretillin dan Kota di Timor Timur sejak mereka bergabung dengan NKRI tahun 1976, yang akhirnya berhasil membentuk negara sendiri (Timor Laste) tahun 1998. Gerakan perlawanan suku Amungmo di Abepura terhadap pemerintah pusat sejak Freeport melakukan eksplorasi dan eksploitasi di Irian Jara (papua), mereka mengangkat senjata dengan menyerukan gerakan cargo cut, yaitu sebuah misi suci yang didasarkan pada emosi keagamaan untuk membangkitkan kejayaan masa lampau (nenek moyang). Gerakan ini adalah embrio dari Organisasi Papua Merdeka (OPM) denga lambang bintang kejoranya. Sentimen primordial kesukuan ini dihidupkan menjadi basis utama artikulasi kepentingan secara politik, karena tersumbatnya komunikasi politik melalui saluran yang ada, sehingga gerakan ini mengartikulasikan kepentingan pilitik dengan berbagai cara8
Etnopolitic conflict yang melahirkan gerakan sparatisme di negara manapun selalu berpangkal kepada persoalan ketidakadilan, kesenjangan, dan perbedaan ideologi. Kita masih ingat faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya konflik antar etnik di Indonesia selama ini, sejak tahun 1995-1996 di Indonesia telah terjadi sebanyak 300 lebih kasus kerusuhan dan konflik sosial yang bernuansa SARA. Dari kasus Tasikmalaya, Ketapang, Sambas, sampai dengan kasus Ambon semua terjadi secara berhimpit dan berpangkal pada permasalahan yang sama. Salah satu penyebabnya adalah adanya mekanisme dampak saring (filtering effect), yaitu suatu dampak yang disebabkan oleh program pembangunan yang hanya bisa dinikmati oleh mereka yang sesuai dengan program pembangunan, sementara mereka yang tidak masuk dalam standar tidak memperolehnya.
Sementara itu segmentasi dalam bentuk terjadinya kesatuan-kesatuan sosial yang terikat ke dalam ikatan-ikatan primordial dengan sub-kebudayaan yang berbeda dengan lainnya sangat mudah sekali melahirkan konflik-konflik sosial. Dalam hal yang seperti ini etnopolitic conflict akan terjadi dalam dua dimensi; dimensi pertama adalah konflik di dalam tingkatan ideologis, konflik ini terwujud didalam bentuk konflik antara sistem nilai yang dianut oleh etnik pendukungnya serta menjadi ideologi dari kesatuan sosial. Dimensi kedua adalah konflik yang terjadi dalam tingkatan politis, pada konflik ini terjadi dalam bentuk pertentangan didalam pembagian status kekuasaan, dan sumber ekonomi yang terbatas dalam masyarakat.9 Hal ini sesuai dengan konsep konflik yang definisikan oleh Lewis Coser, bahwa konflik sesungguhnya adalah usaha untuk memeperebutkan status, kekuasaan, dan sumber-sumber ekonomi yang sifatnya terbatas, pihak-pihak yang berkonflik bukan hanya berniat untuk memperoleh barang yang dimaksud tetapi juga berniat untuk menghancurkan lawannya.10 Dalam kondisi konflik, maka sadar ataupun tidak sadar setiap yang berselisih akan berusaha untuk meningkatkan dan mengabdikan diri dengan cara memperkokoh solidaritas kedalam diantara sesama anggotanya, membentuk organisasi-organisasi kemasyarakatan untuk keperluan kesejahteraan dan pertahanan bersama;11 mendirikan sekolah untuk memperkuat identitas kultural, meningkatkan sentimenitas etnosentrisme, stereotipisme, keagamaan, dan usaha-usaha lain yang meningkatkan primordialisme.
Dominasi Etnik dan Mekanisme Dampak Saring (Filtering Eeffect)
Perbedaan kesejarahan, geografis, pengetahuan, ekonomi, peranan politik, dan kemampuan untuk mengembangkan potensi kebudayaannya sesuai dengan kaidah yang dimiliki secara optimal sering menimbulkan dominasi etnik dalam struktur sosial maupun struktur politik baik dalam tingkat lokal maupun nasional. Dominasi ini pada akhirnya melahirkan kebudayaan dominan (dominan culture), dan kebudayaan tidak dominan (inferior culture)12, yang pada titik tertentu akan melahirkan konflik antar etnik yang berkepanjangan, antara yang superior dengan yang inferior. Contoh yang paling aktual adalah bagaimana perlawanan dari gerakan sparatis Macan Elam Tamil di Sri Lanka, yang ingin melepaskan diri dari pemerintahan Sri Kumaratunga yang didominasi oleh etnik Sinhala. Etnik mayoritas Sinhala menguasai seluruh akes negara dari bidang ekonomi, pendidikan, militer sampai dengan politik, sehingga etnik Tamil bangkit melawan senjata dalam organisasi LTTE-nya dengan perlawanan yang sangat luar biasa massif selama dua puluh tahun lebih. Dominasi etnik dan kebudayaan, dimanapun dan kapanpun jika dimanfaatkan secara politik untuk kepentingan golongan, bukan untuk bangsa dan negara selalu melahirkan konflik yang bersifat horisontal dan vertikal.
Kebudayaan dominan dalam struktur masyarakat yang majemuk menurut Bruner disebabkan oleh tiga hal; 1). Faktor Demografis, dalam konteks keindonesiaan adalah kesenjangan jumlah penduduk yang sangat timpang antara pulau Jawa dan luar Jawa, padahal luas pulau Jawa hanya seperempat dari luas pulau luar Jawa; sementara 70% penduduknya terkosentrasi di pulau Jawa. Karena itu secara demografis penduduk pulau Jawa lebih dominan jika dibandingkan dengan di pulau luar Jawa. 2). Faktor Politis, hal ini jelas terlihat sekali bagaimana dominasi etnik tertentu –Jawa katakanlah—dalam struktur pemerintahan Indonesia. Akibatnya, banyak sekali kebijakan-kebijakan dari pemerintah pusat cenderung tidak adil, sebab seringkali menguntungkan kelompok golongan tertentu, sehingga menimbulkan ketidakpuasan bagi kelompok (etnik) tertentu. Kemudian, kegagalan mengartikulasi kepentingan politik etnik dan tersumbatnya komunikasi politik menimbulkan perlawanan etnik yang sangat luar biasa kuatnya. 3). Budaya Lokal, pusat pemerintahan RI yang berpusat di pulau Jawa pada akhirnya merangsang tumbuhnya kebudayaan lokal menjadi kebudayaan yang dominan. Hal ini disokong oleh birokrat-birokrat pemerintah dalam bidang ekonomi, pendidikan, politik, dan sosial-keamanan, ketimpangan antara pulau Jawa dan Luar Jawa dari dahulu sudah sangat mengkewatirkan integrasi nasional.
Pada sisi lain usaha pemerintah untuk memeratakan jumlah penduduk di Jawa dan di luar Jawa lewat program Transmigrasi juga menimbulkan banyak persoalan. Ternyata disamping kesulitan untuk beradaptasi dengan kebudayaan lokal, para pendatang dari Jawa juga sering mendapatkan perhatian yang lebih dari pemerintah pusat. Para transmigran yang mempunyai tingkat pendidikan lebih baik, lebih mudah untuk merespon pembangunan yang selama ini dijalankan oleh lemerintah RI. Hal ini bisa kita lihat di daerah Sambas, Ambon, Maluku, dan khususnya di Timika Irian Jaya. Dalam kasus di Timika terlihat sangat jelas, bagaimana para penduduk pribumi sangat ketinggalan dalam melakukan kompetisi menerima program pembangunan pemerintah pusat, sehingga dominasi (politik dan ekonomi) dipegang oleh para pendatang. Akibatnya adalah, terjadinya mekanisme dampak saring (filtering effect), sehingga “tetesan ke bawah kue pembangunan” sebagian besar tertahan oleh kelompok pendatang.13Mekanisme dampak saring ini ternyata terjadi hampir di setiap tempat transmigrasi di luar pulau Jawa. Dalam kasus di Abepura, pasar menjadi sasaran utama untuk dihancurkan, karena mereka merasa terpinggirkan oleh para pendatang dalam mengakses kepentingan ekonomi.
Berkobarnya Perang Etnik dan Gerakan Sparatisme
Seandinya pemerintah pusat gagal untuk melaksanakan rekonsiliasi nasional, melakukan komunikasi politik pusat-daerah, mencegah melebarnya mekanisme dampak saring, dan gagal melakukan otonomi (khusus) daerah sesuai dengan aspirasi etnik (masyarakat) yang bersangkutan, maka perang etnik dan gerakan sparatisme akan mencapai puncaknya. Kecurigaan etnik yang bersangkutan—Aceh, Papua, Maluku dan lain-lain—yang bersumber dari sejarah dan hubungan sosial yang timpang selama ini akan menjadi hambatan komunikasi politik antar etnik dengan pemerintah pusat. Keputusan politik yang menguntungkan satu pihak, dan merugikan pihak lain akan menimbulkan konflik etnik yang berkepanjangan. Di lain pihak ketidakpuasan dalam ranah kultural selalu meningkatkan solidaritas politik, primordialisme, etnosentrisme, dan gerakan sparatiems (mesianic movement) pada setiap suku bangsa (etnik). Kehidupan politik yang selalu tidak stabil di pusat, supremasi hukum mati, KKN merajalela dari pusat sampai dengan daerah, kepentingan partai dan golongan lebih diutamakan daripada kepentingan rakyat, bangsa, dan negara, maka akan semakain menambah gerakan-gerakan sparatisme di Indonesia dan mengancam integrasi nasional. Hal ini semakin diperparah dengan adanya eksploitasi sumber daya alam selama orde baru berkuasa terhadap daerah-daerah di luar Jawa.
Pemerintah NKRI sekarang sedang menghadapi ujian dan beban yang sangat berat menjaga keutuhan wilayahnya. Setelah lepasnya Timor-Timur, maka Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Organisasi Papua Merdeka (OPM) menjadi kendala pemerintah dalam melakukan rekonsiliasi nasional. Negara Indonesia harus melakukan kaji historis dan kaji ulang tentang bagaimana melakukan integrasi seluruh etnik agar terjadi integrasi yang permanen (tidak semu). Meminjam istilah Furnivall (Shepsle dalam Suharman 1999) bahwa intergrasi sosial yang melibatkan beberapa etnik sebenarnya melalui paksaan (coercion) suatu kelompok yang dominan terhadap kelompok lain yang tidak dominan. Kooptasi berbagai kekuatan politik lokal dilakukan untuk mematahkan berbagai tuntutan yang tidak searah dengan yang dikehendaki oleh pemerintah pusat. Proses ini dilakukan dengan mengembangkan sistem perwakilan kepentingan melalui organisasi fungsional nonideologis, atau proses korporatisme negara (Maso’ed dalam Suharman, 1999; 416)
Epilog
Integrasi adalah proses sosiologis dan antropologis yang tidak bisa dilakukan dan ditempuh dalam waktu yang singkat. Tetapi memerlukan proses pembudayaan dan konsensus sosial politik diantara suku bangsa (etnik) yang ada di dalam negara kesatuan Indonesia. Kalau kita menggunakan pendekatan konflik sebagaimana diilustrasikan oleh Lewis C. Coser dan George Simell, maka kerangka masyarakat yang akan kita dapatkan adalah integrasi yang selalu berada dalam bayang-bayang konflik antar etnik yang berkepanjangan. Kalau kita mengikuti pandangan penganut fungsional struktural dari Auguste Comte, melalui Durkheim sampai dengan Parsons, maka yang akan menjadi faktor mengientegrasikan masyarakat Indonesia tentulah sebuah nilai umum tentang kesepakatan bersama antar masyarakat. Nilai-nilai umum tertentu yang disepakati secara bersama itu tidak hanya disepakati oleh sebagian besar orang (etnik), akan tetapi lebih daripada itu nilai-nilai umum tersebut harus dihayati melalui proses sosialisasi14, akulturasi, asimilasi, dan enkulturasi. Proses ini pernah dibuktikan oleh kesepakatan bersama dalam sumpah pemuda yang menghasilkan nasionalisme dan menyatukan rakyat Indonesia secara sosial dan politik dengan semboyannya; satu tanah air, satu bahasa, dan satu bangsa. Mengikuti pemikiran R. William Liddle, konsensus nasional yang mengintegrasikan masyarakat yang pluralistik pada hakekatnya adalah mempunyai dua tingkatan sebagai prasyarat bagi tumbuhnya suatu integrasi nasional yang tangguh. Kedua syarat itu adalah: 1). Pertama sebagian besar anggota suku bangsa bersepakat tentang batas-batas teritorial dari negara sebagai suatu kehidupan politik dalam mana mereka sebagai warganya.2). Apabila sebagian besar anggota masyarakatnya bersepakat mengenai struktur pemerintahan dan aturan-aturan dari proses politik yang berlaku bagi seluruh masyarakat diatas wilayah negara yang bersangkutan.15 Lebih lanjut Nasikun (1989; 73) menambahkan bahwa integrasi nasional yang kuat dan tangguh hanya akan berkembang diatas konsensus nasional mengenai batas-batas suatu masyarakat politik dan sistem politik yang berlaku seluruh masyarakat tersebut. Kemudian, suatu konsensus nasional mengenai bagaimana suatu kehidupan bersama sebagai bangsa harus diwujudkan atau diselenggarakan, melalui suatu konsensus nasional mengenai “sistem nilai” yang akan mendasari hubungan-hubungan sosial diantara anggota suatu masyarakat negara.16
Sementara itu, menurut Max Weber bahwa sistem nilai merupakan dasar pengesahan (legitimacy) dari struktur kekuasaan (authority) suatu masyarakat, maka konsensus nasional mengenai bagaimana suatu kehidupan bersama sebagai bangsa harus diwujudkan, pada akhirnya akan merupakan konsensus nasional terhadap suatu rezim tertentu yang sedang berkuasa. Dalam konteks Indonesia, maka proses integrasi nasional haruslah berjalan alamiah, sesuai dengan keanekaragaman budayanya dan harus lepas dari hegemoni dan dominasi peran politik etnik tertentu. Proses integrasi harus melalui fase-fase sosial dan politik. Mengikuti alur pemikiran Ogburn dan Nimkof (penganut fungsionalisme struktural) bahwa integrasi merupakan sebuah proses : Akomodasi—kerjasama—koordinasi—asimilasi. Asimilasi ini merupakan proses dua arah (to way process) antara etnik yang berbeda, sehingga diperoleh sebuah konsensus dan kesepahaman atas dasar keanekaragaman budaya. Konsensus nasional mengenai bagaimana kehidupan bangsa Indonesia harus diwujudkan atau diselenggarakan, dan sebagian harus kita temukan didalam proses pertumbuhan pancasila sebagai dasar falsafah atau ideologi negara. Sayang, para elite politik tidak pernah belajar dari sejarah pertumbuhan pancasila, sehingga orientasi mereka bukanlah semata-mata untuk kepentingan persatuan, kesatuan, dan kejayaan bangsa Indonesia. Sehingga mereka tidak pernah memahami budaya politik lokal dan aspirasi budaya lokal, yang mereka utamakan adalah kekuasaan, golongan, partai sebagai “eternal oriented”. Akhirnya akses ekonomi dan politik yang seharusnya menjadi milik masyarakat (etnik) terkooptasi oleh mereka, maka kesenjangan dan ketidakpuasan adalah hasil yang kita lihat sekarang ini. Kalau hal ini terus dipelihara, maka KKN, distorsi hukum, konflik antar etnik, sparatisme, dan keterpurukan akan menjadi santapan pagi seluruh rakyat Indonesia. Dan nasib bangsa Indonesia menjadi “almarhum” macam Uni Soviet dan Yugoslavia tinggal menunggu waktu, wallohua’lam bissowab.
















Memusnahkan Takdir

MEMUSNAHKAN TAKDIR
Oleh c.m.
Keadaan hidup kaum tak bermodal di dalam kehidupan sekarang ini terdiri dari dua jenis "pemerkosaan" terhadap kemanusiaan. Yaitu pemerkosaan dalam bidang produksi dan konsumsi. Pemerkosaan ini dilakukan oleh kaum yang memiliki modal, kaum yang melakukan produksi. Maksud 'melakukan produksi' di sini adalah dalam artian memiliki modal untuk berproduksi, bukan orang-orang yang secara nyata melakukan produksi.
Yang menjadi objek pemerkosaan dalam bidang produksi tidak lain adalah kaum yang sesungguhnya secara nyata bekerja menghasilkan produk dan nilai: Buruh. Sementara semua orang yang tidak memiliki modal secara tidak sadar tengah menjadi orang-orang yang diperkosa dalam bidang konsumsi. Tujuan dari tulisan ini adalah untuk berusaha mengangkat kedua jenis "pemerkosaan" tersebut ke permukaan, menelanjanginya, serta kemudian melihat apa yang sudah kita lakukan dan apa yang seharusnya kita lakukan.
IYang melakukan kerja secara nyata menghasilkan produk dan nilai bukanlah para pemilik modal, yang melakukan kerja itu adalah buruh. Tetapi yang didapatkan buruh dari hasil kerjanya hanyalah upah untuk tetap hidup, sementara setiap keuntungan yang diperoleh dari hasil penjualan barang dan jasa yang mereka hasilkan masuk ke dalam kantong pemilik modal. Segala keputusan menyangkut pekerjaan yang dilakukan oleh buruh pun tidak berada di tangan mereka, melainkan sekali lagi menjadi hak pemilik modal. Dengan kata lain posisi buruh di dalam sebuah sistem produksi tidaklah lebih dari mesin, berproduksi sesuai keinginan pemiliknya, tanpa hak apapun untuk menentukan produksi yang dilakukannya, dan tidak ada apapun yang didapat selain kesempatan untuk tetap hidup - untuk kemudian dibuang setelah tidak diperlukan lagi.
Keadaan ini diperparah dengan kenyataan bahwa buruh hanya mengerjakan satu bagian kecil dari suatu produk seutuhnya, untuk kemudian hasil pekerjaannya itu bukan saja sama sekali tidak menjadi milik mereka, malah bahkan umumnya tidak diperuntukkan bagi kelas pekerja yang tidak akan mampu membelinya. Hasilnya adalah keterasingan kaum buruh, pertama adalah keterasingan dari dirinya sendiri karena hidup dan pekerjaan yang dijalaninya bukanlah kehidupan yang dapat ia tentukan sendiri, karena apa yang dilakukannya hanyalah 'berproduksi' tanpa 'berkarya' (tidak ada segi kreatif apapun dari apa yang dikerjakannya, yaitu mengulang-ulang hal yang sama sepanjang hari dan sepanjang masa kerjanya), karena kaum buruh tidak menjalani hidupnya sebagai manusia - melainkan sebagai mesin. Kedua adalah keterasingan dari hasil pekerjaannya, karena apa yang dikerjakannya bukanlah menjadi milik mereka, karena tidak ada hak apapun baginya atas barang yang telah ia hasilkan, karena ia tidak akan mengenali lagi produk yang telah jadi sebagai hasil pekerjaannya.
Dapat kita katakan bahwa dengan terpaksa kaum buruh menyerahkan hidup dan tenaganya kepada pemilik modal, karena tidak ada apapun dari hasil pekerjaannya yang menjadi miliknya, kecuali kesempatan untuk bertahan hidup - agar dapat terus menerus "diperkosa" oleh pemilik modal. Sementara itu keuntungan yang didapatkan pemilik modal akan terus bertambah dari hari ke hari, membuatnya dapat memperluas usaha, menambah jumlah buruh, meningkatkan produksi, melipat-gandakan modal, kembali menghasilkan keuntungan, dan seterusnya. Semua keuntungan yang didapatkan oleh pemilik modal tersebut, tidak lain adalah hasil pekerjaan nyata kaum buruh yang diperlakukan layaknya mesin, serta terasing dari dirinya sendiri dan dari hasil pekerjaannya.
Keadaan yang dialami oleh kaum tani yang tidak memiliki tanah pun tidak berbeda. Yang dapat mereka lakukan hanyalah menjual tenaga untuk menggarap tanah milik orang lain, menghasilkan berbagai macam hasil bumi yang sama sekali bukan menjadi milik mereka, melainkan menjadi hak pemilik tanah.
IIPrinsip produksi yang selalu berlaku adalah "produksi sebanyak-banyaknya dengan pengorbanan seminimal mungkin," Produksi harus dilakukan seefisien dan seekonomis mungkin sehingga keuntungan bisa maksimal. Pada masa lalu hal ini dapat dicapai dengan dua jalan, pertama adalah membangun koloni-koloni tempat negara-negara maju mendapatkan bahan mentah, tenaga kerja, dan pasar tempat menjual produknya. Kedua dengan menekan tingkat upah buruh sekecil-kecilnya dan memaksimalkan waktu kerja buruh, kaum buruh Eropa adalah korban dari prinsip produksi ini di masa lalu. Setiap kemajuan teknologi dan teknik tidak ditujukan untuk memperbaiki kehidupan kaum buruh, melainkan untuk terus semakin meningkatkan produksi.
Seiring perubahan zaman, setelah perjuangan dari kaum buruh di seluruh dunia selama ratusan tahun, pada masa sekarang akhirnya dapat dinikmati hak-hak dasar bagi kaum buruh di setiap negara beradab. Namun karena kekuasaan untuk mengambil keputusan dan segala hak menyangkut hasil produksi masih tetap berada pada pihak kaum pemilik modal, sifat dasar dari pekerjaan kaum buruh belumlah berubah: Hanya mesin belaka.
Dewasa ini, ada suatu gejala tambahan lain yang patut diperhatikan. Dengan segala kemajuan yang telah dicapai umat manusia, dengan didukung oleh teknologi dan teknik yang mutakhir, akhirnya tingkat produksi yang tinggi bukan lagi menjadi permasalahan. Dunia telah menikmati keberlimpahan dan keberlebihan produksi, bukan hanya hal-hal dasar yang penting bagi kehidupan manusia, melainkan juga segala hal tambahan dengan jenis dan fungsi yang amat luas.
Dengan demikian yang menjadi permasalahan utama bagi para produsen (pemilik modal) sekarang bukan lagi produksi itu sendiri, melainkan bagaimana agar barang yang telah diproduksi dengan jumlah amat banyak itu dapat dikonsumsi habis oleh masyarakat sehingga menghasilkan keuntungan yang maksimum. Untuk tujuan ini, masyarakat harus diubah menjadi mesin-mesin pengkonsumsi, yang akan menghabiskan apapun dan berapa banyakpun barang yang diproduksi. Usaha untuk menuju ke arah ini dilakukan melalui indoktrinasi media massa, penyebaran budaya trend, mode, fashion, budaya kehidupan konsumtif, budaya casing, budaya pop, dan berbagai macam cara lain yang puncaknya adalah sebuah fakta bahwa "... satu trilyun dollar AS yang digunakan [dunia] untuk belanja iklan selama setahun." (Sumber: "Kapitalisme Neoliberal - Tak Kenal Altruisme, Etika, dan Kemurahan Hati", koran Kompas Senin, 3 Februari 2003, halaman 34. Ditulis oleh Maria Hartiningsih tentang World Social Forum III di Porto Alegre, Brasil)
Setelah masyarakat berhasil diubah menjadi mesin yang akan mengkonsumsi apa-pun yang diproduksi, maka watak produksi masa sekarang pun telah berubah. Bukan lagi bertujuan untuk menghasilkan produk-produk yang berguna bagi kehidupan manusia, melainkan produk-produk yang akan paling banyak dan paling cepat menghasilkan keuntungan. Karena itu kita dapat melihat betapa banyak barang-barang yang sesungguhnya tidak memiliki nilai guna sedikitpun diproduksi dalam jumlah yang besar dan amat disenangi oleh remaja-remaja perkotaan, sementara di tempat-tempat lain kekurangan pangan atau kebutuhan pokok lainnya terasa begitu mendesak. Hal tersebut selain disebabkan juga oleh kenyataan (yang belum berubah) bahwa yang bisa mendapatkan hidup yang nyaman adalah yang mempunyai uang.
Hasil dari keadaan ini adalah masyarakat yang "sakit" dan terasing. Manusia mengkonsumsi bukan karena kebutuhannya dan bahkan bukan karena keinginannya sendiri, melainkan karena kebutuhan dan keinginan yang dicangkokkan dari luar. Manusia yang telah diubah menjadi manusia-manusia yang selalu tidak merasa cukup. Manusia yang tidak lagi mengerti mengapa mereka harus membeli sebagian besar produk-produk yang telah mereka beli. Manusia dengan kebudayaan-kebudayaan buatan, dengan dasarnya adalah budaya super-konsumerisme. Manusia yang telah "diperkosa" oleh sistem, diubah menjadi mesin-mesin pengkonsumsi produk.
IIIKalau kita masih memiliki harapan tentang masa depan yang lebih baik, maka yang terutama mampu mengubah keadaan masyarakat yang sakit seperti yang telah dibahas sebelumnya, yang mampu mengakhiri "pemerkosaan" sistem terhadap manusia, hanyalah kaum buruh dan ditambah dengan kaum tani. Karena di tangah kaum buruh lah kekuatan produksi yang nyata terletak, sebagai kelas yang dieksploitasi sejak awal mula kelahiran sistem kapitalisme, sebagai kelas yang menjadi syarat tetap hidupnya sistem kapitalisme.
Telah ratusan tahun kaum buruh memperjuangkan keadaan hidup yang lebih baik. Dari masa awal revolusi industri di Inggris, pun hingga masa sekarang di Tanah Air. Demonstrasi-demonstrasi menuntut kenaikan upah, pengurangan jam kerja, menolak PHK massal, menuntut jaminan-jaminan kerja, dan berbagai tuntutan hak-hak lain yang selayaknya didapatkan kaum buruh. Semua itu adalah tuntutan-tuntutan pemenuhan kebutuhan ekonomis yang aktual, menyangkut perbaikan-perbaikan dalam kehidupan kaum buruh. Tetapi harus diingat, bahwa dengan semua tuntutan itu, walaupun pada akhirnya kaum buruh akan mendapatkan keadaan hidup yang layak, sama sekali tidak akan mengakhiri penghisapan dan eksploitasi terhadap kaum buruh, serta tidak akan mengakhiri "pemerkosaan" sistem terhadap manusia.
Penghisapan dan eksploitasi terhadap kaum buruh, serta pemerkosaan yang terjadi, akan berakhir jika sistem dirombak secara total; jika modal tidak lagi dimiliki oleh orang-orang tertentu, jika apa yang dikerjakan oleh kaum buruh tidak lagi menjadi hak milik pemodal, jika kekuasaan dan hak untuk membuat keputusan yang menyangkut pekerjaannya dimiliki oleh mereka yang secara nyata melakukan kerja: KAUM BURUH. Lebih jauh lagi, pemerkosaan akan berakhir jika mode, prinsip, dan tujuan produksi diubah secara mendasar, yaitu jika produksi tidak lagi ditujukan pada keuntungan, melainkan pada manusia itu sendiri.
Hal-hal tersebut di atas tidak akan didapatkan hanya dengan perjuangan-perjuangan ekonomis yang aktual seperti tuntutan kenaikan upah, melainkan hanya bisa didapatkan dengan satu kondisi yang harus terpenuhi: Kekuasaan di tangan kaum buruh dan kepemilikan bersama atas modal. Dari sana kaum buruh dapat memulai sebuah sistem yang berdiri atas dasar kemanusiaan, produksi dan konsumsi yang manusiawi, perekonomian yang tidak berdasarkan persaingan, dan kesetaraan dalam segala hal. Singkatnya, memanusiakan kembali manusia.
IVJika terhadap tuntutan kenaikan upah yang diajukan kaum buruh saja pemilik modal dan anjing penjaganya tampak begitu tidak suka, maka tidak dapat dibayangkan reaksi dan ketidaksukaan mereka terhadap ide bahwa kekuasaan harus dipegang kaum buruh dan modal dimiliki bersama. Tidak saja hendak mengurangi keuntungan yang mereka dapatkan, ide ini bahkan hendak menjatuhkan mereka dari puncak kekuasaan dan merampas kembali modal yang selama ini mereka dapatkan dari hasil keringat kaum buruh. Melihat dari hal itu saja, sudah jelas bagi kita, perjalanan dan perjuangan yang harus dilakukan tentulah amat sangat berat.
Lalu mungkin akan muncul pernyataan dari kaum buruh sendiri, bahwa tidak perlulah mengambil alih kekuasaan, tidak perlulah memperjuangkan kepemilikan bersama atas modal, yang terpenting hanyalah hidup yang mencukupi dan tidak sengsara, bahwa hidup menjadi buruh sudah merupakan takdir dan nasib yang merupakan hidup yang harus dijalani, dan lain-lain.
Izinkan kami untuk mengingatkan sekali lagi kepada kawan. Pertama, bahwa perbaikan taraf kehidupan sama sekali tidak akan mengakhiri penghisapan, eksploitasi, dan nasib kaum buruh yang diperlakukan seperti mesin, pun tidak akan mengakhiri pemerkosaan-pemerkosaan yang dilakukan kaum pemilik modal terhadap manusia. Kedua, bahwa jika memang kehidupan sebagai kaum buruh yang dihisap dan dieksploitasi seperti mesin adalah merupakan takdir, maka berarti sudah saatnya bagi kaum buruh untuk membongkar, menjungkir-balikkan, dan memusnahkan takdir itu!!
21 Januari 2005 14:14***

Keluhan Para Makhluk Tertindas

KELUHAN PARA MAKHLUK TERTINDAS
Agama dari kacamata Marxis
Oleh Suara Sosialis

Kita sering mendengar tuduhan bahwa Marxisme bertentangan dengan agama serta memusuhi orang yang taat. Bukankah Marx pernah menyebutkan agama sebagai "candu rakyat"?
Sebetulnya sikap Marx dan Lenin dalam hal ini sering disalahartikan, baik oleh orang non-sosialis maupun oleh tidak sedikit orang yang mengaku Marxis. Kritik Marx yang termasyur mengenai peranan agama dalam masyarakat sebetulnya tidak diarahkan untuk meremehkan kepercayaan manusia pada Tuhan.
Memang betul bahwa Marx, sebagai seorang filosof yang bersikap materialis, tidak percaya pada Tuhan. Namun demikian Marx sangat menaruh simpati pada rakyat biasa yang beragama. Untuk memahami sikap Marx yang sebenarnya, mari kita menyimak tulisannya "Kritik terhadap Filsafat Hukum Hegel". Di sini kita mendapati rumusan terkenal tentang "candu rakyat", tapi dalam konteks spesifik.
"Di negeri Jerman," tulisnya, "kritik terhadap agama dalam garis besar sudah lengkap". Artinya, kritik tersebut sudah diselesaikan oleh kaum filosof yang mendahului Marx (kaum "Hegelian Muda" terutama Feuerbach). Marx merangkum kritik mereka sebagai berikut:
"Landasan untuk kritik sekuler adalah: manusialah yang menciptakan agama, bukan agama yang menciptakan manusia. Agama adalah kesadaran-diri dan harga-diri manusia yang belum menemukan diri atau sudah kehilangan diri sendiri."
Kedua kalimat ini memaparkan, bahwa agama (dan Tuhan) merupakan produk ideologis yang dibuat oleh manusia. Namun di mata Marx, penciptaan itu memiliki segi yang agung sekaligus mengharukan. Kemudian Marx berpaling ke aspek sosial yang merupakan perhatian utamanya:
"Namun manusia bukanlah suatu makhluk yang berkedudukan di luar dunia. Manusia itu adalah dunia umat manusia, negara, masyarakat. Negara ini, masyarakat ini menghasilkan agama, sebuah kesadaran-dunia yang terbalik, karena mereka sendiri merupakan sebuah dunia terbalik."
Jika manusia melihat dunia melalui kacamata agamis yang terbalik, itu disebabkan karena manusia hidup dalam masyarakat yang timpang:
"Agama merealisasi inti manusia dengan cara fantastis karena inti manusia itu belum memiliki realitas yang nyata. Maka perjuangan melawan agama menjadi perjuangan melawan sebuah dunia nyata yang aroma jiwanya adalah agama tersebut." Kaum sosialis tidak diajak berkampanye malawan agama sebagai tugas pokok, melainkan diajak berkampanye melawan bentun-bentuk sosial yang timpang.
Tugas utama kaum Marxis adalah untuk memberantas eksploitasi dan pendindasan, dan agama juga merupakan protest terhadap penindasan itu:
"Kensengsaraan agamis mengekspresikan kesengsaraan riil sekaligus merupakan protes terhadap kesengsaraan itu. Agama adalah keluhan para makhluk tertindas, jantung-hati sebuah dunia tanpa hati, jiwa untuk keadaan tak berjiwa. Agama menjadi candu rakyat.
Tanpa perjuangan untuk pembebasan sosial, kritik terhadap agama adalah sia-sia bahkan negatif, karena kritik semacam itu hanya mempersulit penghiburan emosional yang sangat dibutuhkan oleh manusia:
"Kritik telah merenggut bunga-bunga imajiner dari rantai, bukanlah supaya manusia akan terus mengenakan rantai yang tak terhias dan suram itu, melainkan agar dia melepaskan rantai itu dan memetik kembang hidup."
Marx menutup teks ini dengan menhimbau agar kaum filosof meninggalkan kritik terhadap agama demi memperjuangkan perubahan sosial:
"Maka begitu dunia di luar kebenaran itu hilang, tugas ilmu sejarah adalah untuk memastikan kebenaran dunia nyata ini. Begitu bentuk suci dari keterasingan manusia telah kehilangan topengnya, maka tugas mula bagi filsafat, yang menjadi pembantu ilmu sejarah, adalah untuk mencopot topeng keterasingan dalam bentuk-bentuk yang tak suci. Sehingga kritik terhadap surga menjelma menjadi kritik terhadap alam nyata; kritik terhadap agama menjadi kritik terhadap hukum, dan kritik teologi menjadi kritik politik."
Sentimen ini mengulangi isi semboyan revolusioner yang dimuat dalam Tesis IX Tentang Feuerbach (tulisan Marx): "Para ahli filsafat hanya telah menafsirkan dunia, dengan berbagai cara; akan tetapi soalnya ialah mengubahnya".
LeninDalam Revolusi Rusia, Lenin dan Partai Bolsyevik menerapkan kebijakan yang berlandaskan pada prinsip-prinsip Marx tersebut di atas. Maka dalam pemerintahan, kaum Bolsyevik tidak mengambil sikap anti-agama, melainkan kepercayaan pada Tuhan dianggap sebagai masalah pribadi saja. Menurut Lenin (dalam "Sosialisme dan Agama", 1905):
"Kita minta agar agama dipahami sebagai sebuah persoalan pribadi ... seharusnya agama tidak menjadi perhatian negara, dan masyarakat religius seharusnya tidak berhubungan dengan otoritas pemerintahan. Setiap orang sudah seharusnya bebas mutlak untuk menentukan agama apa yang dianutnya, atau bahkan tanpa agama sekalipun, yaitu, menjadi seorang atheis ... Bahkan untuk sekedar penyebutan agama seseorang di dalam dokumen resmi tanpa ragu lagi mesti dibatasi."
Pemerintahan Bolsyevik memang memusuhi lembaga-lembaga agamis yang konservatif, dan melawan hubungan resmi antara negara dan agama, tetapi sekali lagi untuk menjaga prinsip-prinsip demokrasi:
"Subsidi-subsidi tidak boleh diberikan untuk memapankan gereja, negara juga tidak boleh memberikan tunjangan untuk asosiasi religius dan gerejawi. Ini harus secara absolut menjadi perkumpulan bebas orang-orang yang berpikiran begitu, secara independen dari negara. Hanya pemenuhan seutuhnya dari tuntutan ini yang dapat mengakhiri masa lalu yang memalukan dan terkutuk, ketika gereja hidup dalam ketergantungan feodal pada negara, dan rakyat Rusia hidup dalam ketergantungan feodal pada gereja yang mapan..."
Sikap kaum Bolsyevik sebagai partai politik memang agak berbeda. Sebagai sebuah organisasi Marxis, partai melawan ideologi agamis dalam kelas pekerja:
"Partai kita adalah sebuah perhimpunan para pejuang maju yang berkesadaran kelas, yang bertujuan untuk emansipasi kelas pekerja. Sebuah asosiasi seperti itu tidak dapat dan tidak seharusnya mengabaikan adanya kekurangan kesadaran- kelas, ketidaktahuan atau klenik-klenik dalam bentuk keyakinan-keyakinan agama ... kita mendirikan asosiasi kita ... tepatnya untuk sebuah perjuangan melawan setiap agama yang menina bobokkan para pekerja..."
Meski begitu, mereka tidak melarang orang beragama masuk partai:
"Jika memang demikian, mengapa kita tidak menyatakan dalam Program kita bahwa kita adalah atheis? Mengapa kita tidak melarang orang-orang Kristen dan para penganut agama Tuhan lainnya untuk bergabung dalam partai kita?
"[Karena] kita tidak boleh jatuh dalam kesalahan merumuskan persoalan agama secara abstrak dan idealistis, sebagai sebuah masalah "intelektual" yang tak berhubungan dengan perjuangan kelas, ... Tentulah bodoh untuk berpikir bahwa, dalam sebuah masyarakat yang berdasarkan pada penindasan tanpa akhir dan merendahkan massa pekerja, prasangka-prasangka agama bisa disingkirkan hanya melalui metode propaganda melulu."
Seperti Marx, Lenin beranggapan bahwa agama merupakan "keluhan para makhluk tertindas", sehingga "prasangka agama" tidak bisa dihilangkan tanpa menjungkirbalikkan tatanan sosial. Sebelum perubahan itu dapat tercapai, sikap anti-agama hanya menjadi sektarian, dan bisa memecahkan kelas pekerja.
Paska RevolusiBagaimana dalam masyarakat sosialis di masa depan? Apakah kaum Marxis akan melarang agama atau menindas orang yang taat? Pertanyaan ini sering diungkit dan bisa dipahami, karena rezim-rezim stalinis (yang pura-pura sosialis) memang melarang serta menindas agama. Selain itu, bukankah Marx dan Lenin menekankan bahwa agama hanya bisa amblas setelah penindasan diberantas? Kalau begitu, apakah agama mau "dihilangkan" secara aktif oleh masyarakat sosialis?
Sama sekali tidak. Marxisme, yang berlandaskan pada materialisme, berharap agama akan menghilang *dengan sendirinya* bila semua penindasan diberantas. Artinya, selama manusia masih merasa memerlukan agama, itu membuktikan bahwa pendindasan masih terjadi. Maka kaum Marxis mesti berjuang terus melawan penindasan, bukan memushi agama.
Dalam waktu jangka panjang, pandangan teoritis kaum Marxis dalam hal ini memang akan teruji. Apabila dalam masyarakat sosialis seutuhnya yang akan tiba, manusia tetap merasa memerlukan agama, itu hak mereka. Akan tetapi jika mereka tidak lagi merasa begitu, analisis materialis Marxisme tentang agama akan terbukti benar.