Thursday, May 17, 2007

Etnopolitic Conflict

ETNOPOLITIC CONFLICT , SPARATISME, DAN MASALAH INTEGRASI NASIONAL

Oleh: Dahrun Usman, S. Sos
(Antropolog yang aktif dalam kegiatan Social and Culture Research, sedang menjadi anggota konsultan BAPPEDA kota Bandung untuk riset evaluasi PROPEDA tahun 2000-2004, juga Direktur Pusaka Jatinangor)

Prolog
Masalah integrasi dan sparatisme dalam negara kesatuan yang multietnik dan struktur masyarakatnya majemuk, seperti “srigala berbulu domba” atau penuh ambivalensi (ambigu). Perfomancenya menampakan sebuah keseimbangan (equillibrium) diantara struktur sosial, politik, dan kebudayaannya, tetapi isinya penuh dengan intrik, ketidakpuasan, paradoks, etnosentrisme, stereotipisme, dan konflik sosial yang tidak kunjung selesai. Devid Lockwood telah memperingatkan kita, betapa konsensus dan konflik merupakan dua sisi dari suatu kenyataan yang sama; konsensus dan konflik adalah dua gejala yang melekat secara bersama-sama di dalam masyarakat. Sejarah memberi fakta pada kita semua, India negara yang merdeka pada tahun 1948 selalu dirundung oleh konflik antar etnik, pada akhir tahun 40-an gerakan sparatisme di India menyebabkan terjadinya skisme negara ini dengan bedirinya negara baru bernama Pakistan. Bahkan sampai sekarang India masih menyisakan gerakan sparatis, yaitu etnik Khasmir yang ingin menjadi negara merdeka. Kita juga masih ingat hancurnya negara Yugoslavia di Balkan (Eropa Timur), yang melahirkan pertikaian sengit antar etnik; Zerbia-Bosnia Herzegovina. Afganistan selalu diselimuti oleh asap mesiu dan darah rakyatnya akibat perang saudara (antar etnik) yang tiada hentinya, etnik Pasthun, Usdek, dan yang lainnya saling berebut kekuasaan dan hegemoni kultural. Bahkan negara kecil macam Sri Lanka pun tidak lepas dari rongrongan sparatisme etnik Tamil lewat LTTE-nya yang merasa didiskreditkan dalam peran sosiopolitiknya oleh etnik mayoritas Sinhala. Dan, terkhir adalah gerakan sparatisme yang melahirkan perang antar etnik di benua hitam Afrika di negara miskin bernama Liberia.
Demikian juga Indonesia, negara keempat terbesar di dunia dan masyarakatnya paling plural ini selalu dihantui oleh gerakan sparatisme. Struktur masyarakat Indonesia yang ditandai oleh heterogenitas etnik dan bersifat unik. Secara horisontal ia ditandai oleh kenyataan adanya kesatuan-kesatuan sosial berdasarkan perbedaan suku bangsa, agama, adat istiadat, dan primordialisme. Secara vertikal, struktur masyarakat Indonesia ditandai oleh adanya perbedaan vertikal antara lapisan-lapisan atas dan lapisan bawah. Sejak kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, NKRI selalu dirongrong oleh gerakan sparatisme; masih tertulis dalam benak sejarah kita, gerakan sparatis DI/TII Kartosuwiryo di Jawa Barat, Permesta Kahar Muzakar di Sumatera, APRA, PKI, DI/TII Daud Barureh di Aceh, dan RMS di Maluku yang menyisakan luka lama. Bahkan sampai sekarang gerakan itu masih terus berlangsung di Aceh lewat GAM (Gerakan Aceh Merdeka) dan OPM (Organisasi Papua Merdeka) di propinsi paling timur di Indonesia. Pemerintah Indonesia selalu berhadapan dengan gerakan separatisme, sehingga Indonesia mempunyai peluang yang sama seperti Yugoslavia dan Uni Soviet (almarhum) menjadi negara yang pecah akibat ketidakstabilan kondisi sosiokultural dan politik. Samuel Hutingthon1 pernah berkomentar pada akhir abad ke-20, bahwa Indonesia adalah negara yang mempunyai potensi paling besar untuk hancur, setelah Yugoslavia dan Uni Soviet akhir abad ke-20 ini. Demikian juga Cliffrod Gertz Antropolog yang Indonesianis ini pernah mengatakan; kalau bangsa Indonesia tidak pandai-pandai memanajemen keanekaragaman etnik, budaya, dan solidaritas etnik, maka Indonesia akan pecah menjadi negara-negara kecil.
Kerangka Konseptual
Struktur masyarakat Indonesia yang majemuk (multietnik)2 selalu menimbulkan persoalan integrasi nasional. Pluralitas masayarakat yang bersifat multidimensional itu akan dan telah menimbulkan persoalan tentang bagaimana masyarakat Indonesia terientegrasi secara horisontal, sementara stratifikasi sosial sebagaimana yang terwujud dalam masyarakat Indonesia akan memberi bentuk integrasi yang bersifat vertikal.3 Beberapa sifat dasar yang selalu dimiliki pada masyarakat majemuk sebagaimana dijelaskan oleh van de Berghe adalah;1). Terjadinya segmentasi ke dalam kelompok-kelompok yang seringkali memiliki kebudayaan, atau lebih tepat sub-kebudayaan, yang berbeda satu sama lain, 2). Memiliki struktur sosial yang terbagi-bagi ke dalam lembaga-lembaga yang bersifat non-komplementer, 3). Kurang mengembangkan konsensus diantara para anggota masyarakat tentang nilai-nilai sosial yang bersifat dasar, 4). Secara relatif seringkali terjadi konflik diantara kelompok yang satu dengan yang lainnya, 5). Secara relatif integrasi sosial tumbuh di atas paksaan (coercion) dan saling ketergantungan di dalam bidang ekonomi, dan 6). Adanya dominasi politik oleh suatu kelompok atas kelompok-kelompok yang lain. Menurut Furnivall masyarakat majemuk (plural society) merupakan suatu masyarakat yang terdiri dari dua atau lebih elmen dan tatanan sosial yang hidup berdampingan tetapi tidak terientegrasi dalam satu kesatuan politik.
Suatu pengembangan konseptual yang lebih memadai tentang konsep masyarakat dikemukakan oleh Robhuska dan Shepsle4yang menyatakan bahwa masyarakat majemuk dapat diidentifikasi melalui;1). Keragaman budaya, 2). Komunitas kultural yang terorganisasi secara politik, dan 3). Alienasi etnik. Oleh karena setiap masyarakat memiliki keragaman kultural, maka dua ciri yang terakhir (politik etnik) inilah yang membedakan antara masyarakat pluralistik (pluralistic society) dengan masyarakat majemuk (plural society). Oleh karena konfigurasi strukturalnya, masyarakat majemuk memiliki dua kecenderungan,1). Inklinasi berkembangnya perilaku konflik di antara berbagai kelompok etnik, dan 2). Kecenderungan hadirnya (force) sebagai kekuatan integratif utama yang mengintegrasikan masyarakat.5
Dengan struktur sosial yang sedemikian komplek, sangat rasional sekali Indonesia selalu menghadapi permasalahan konflik antar etnik, kesenjangan sosial, dan sukar sekali terjadinya integrasi secara permanen. Hambatan demikian semakin nampak dengan jelas, jika diferensiasi sosial berdasarkan parameter suku bangsa jatuh berhimpitan (Coincided) dengan parameter lain (agama, kelas, ekonomi, dan bahasa), sehingga sentimen-sentimen yang bersumber dari parameter sosial yang satu cenderung berkembang saling mengukuhkan dengan sentimen-sentimen yang bersumber dari diferensiasi sosial berdasarkan parameter yang lain. Konsolidasi parameter struktur sosial (Concolidated Social Structure) yang demikian menurut Peter Blau merupakan kendala yang paling besar bagi terciptanya integrasi sosial.6 Sementara itu, secara Antropologis diferensiasi sosial yang melingkupi struktur sosial kemajemukan msyarakat Indonesia adalah; pertama adalah diferensiasi yang disebabkan oleh perbedaan ada istiadat (custome diferentiation) hal ini karena perbedaan etnik, budaya, agama, dan bahasa. Kedua adalah diferensiasi yang disebabkan oleh struktural (strucural diferentiation), hal ini disebabkan oleh kemampuan untuk mengakses ekonomi dan politik sehingga menyebabkan kesenjangan sosial diantara etnik yang berbeda. Pada zaman Hindia-Belanda masyarakat Indonesia digolongkan menjadi tiga golongan oleh antropolog Belanda Furnivall; yaitu golongan penjajah Belanda yang menempati tingkat pertama, kedua adalah golongan minoritas Cina, sedangkan golongan pribumi menempati tingkat yang ketiga.
Terlepas dari pendekatan konsep mana yang penulis gunakan, tapi secara substansi semua konsep yang menjelaskan tentang heteregonitas (kemajemukan) ataupun masyarakat yang plural, pada hakekatnya tidak jauh berbeda (congruent). Pada satu sisi kemajemukan menyimpan kekayaan budaya dan hasanah tentang kehidupan bersama yang harmonis, jika integrasi berjalan dengan baik (menurut aksioma; structural fungsionalism approach). Tetapi pada sisi lain, kemajemukan selalu menyimpan dan menyebabkan terjadinya konflik antar etnik, baik yang bersifat latency maupun yang manifest (dalam aksioma, conflict approach) yang disebabkan oleh etnosentrisme, primordialisme, dan kesenjangan sosial.
Etnopolitic Conflict dan Gerakan Sparatisme
Seperti yang sudah dijelaskan dalam kerangka konseptual, bahwa dalam negara kesatuan yang terdiri dari berbagai suku bangsa (etnik), akan sering menghadapi problem persatuan dan kesatuan. Integrasi masyarakatnya sangat sulit sekali untuk diciptakan secara permanen. Salah satu kasus yang selalu muncul kepermukaan adalah etnopolitic conflict, tindakan ini di wujudkan dalam bentuk gerakan sparatisme yang dilakukan oleh sekelompok etnik. Etnopolitic conflict ini disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya adalah watak dari pemerintah kesatuan yang terlalu bersifat sentralistik dan hegemonik. Wajah etnopolitic conflict dapat dilihat dari kasus Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Gerakan ini bukan hanya didasarkan oleh ketidakpuasan secara politik saja, tetapi masyarakat Aceh merasa hak-haknya selama ini “direbut” oleh pemerintah pusat. Rakyat Aceh merasa didiskreditkan—sub-ordinasi—seluruh hasil perjuangannya mengusir penjajah Belanda, tidak bisa mengakses seluruh kekayaan alam yang melimpah di dalamnya, sentimen keagamaan yang sangat kuat, primordialitas yang sangat kuat, latar belakang kesejarahan yang sangat kuat dan khas, serta tingginya etnosentrisme rakyat Aceh. Etnosentrisme inilah yang sesungguhnya paling dominan dan selalu melekat pada rakyat Aceh. Etnosentrisme adalah suatu pandangan yang melekat pada diri seseorang (masyarakat) yang menilai kebudayaan-kebudayaan lain, selalu diukur dengan nilai kebudayaannya7. Pandangan ini pada satu sisi menimbulkan watak egosentrisme, stereotipisme, dan primordialisme sempit. Pemupukan sifat seperti ini yang tanpa batas, pada akhirnya akan melahirkan gerakan-gerakan massif atau sparatisme. Gerakan Aceh Merdeka atau Gerakan Separatis Aceh (GSA) adalah gerakan massif yang penuh dengan heroikisme, massifisme, dan emosi keagamaan (religion emotion) yang sangat tinggi. Gerakan ini adalah kelanjutan perlawanan Daud Beureh terhadap ketidakpuasan pemerintah pusat yang tidak mengakomodasi tuntutan masyarakat Aceh pasca kemerdekaannya.
Kita masih ingat gerakan-gerakan milerianisme, mesianic movement, dan cargo cut yang bersumbu pada etnosentriesme, dan berapi pada ketidakpuasan kelompok etnik (suku bangsa) atas berbagai kebijakan ekonomi, sosial, politik, dan keamanan, yang dilakukan oleh pemerintah pusat. Gerakan-gerakan sparatisme seperti ini dapat kita lihat dari perlawanan Fretillin dan Kota di Timor Timur sejak mereka bergabung dengan NKRI tahun 1976, yang akhirnya berhasil membentuk negara sendiri (Timor Laste) tahun 1998. Gerakan perlawanan suku Amungmo di Abepura terhadap pemerintah pusat sejak Freeport melakukan eksplorasi dan eksploitasi di Irian Jara (papua), mereka mengangkat senjata dengan menyerukan gerakan cargo cut, yaitu sebuah misi suci yang didasarkan pada emosi keagamaan untuk membangkitkan kejayaan masa lampau (nenek moyang). Gerakan ini adalah embrio dari Organisasi Papua Merdeka (OPM) denga lambang bintang kejoranya. Sentimen primordial kesukuan ini dihidupkan menjadi basis utama artikulasi kepentingan secara politik, karena tersumbatnya komunikasi politik melalui saluran yang ada, sehingga gerakan ini mengartikulasikan kepentingan pilitik dengan berbagai cara8
Etnopolitic conflict yang melahirkan gerakan sparatisme di negara manapun selalu berpangkal kepada persoalan ketidakadilan, kesenjangan, dan perbedaan ideologi. Kita masih ingat faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya konflik antar etnik di Indonesia selama ini, sejak tahun 1995-1996 di Indonesia telah terjadi sebanyak 300 lebih kasus kerusuhan dan konflik sosial yang bernuansa SARA. Dari kasus Tasikmalaya, Ketapang, Sambas, sampai dengan kasus Ambon semua terjadi secara berhimpit dan berpangkal pada permasalahan yang sama. Salah satu penyebabnya adalah adanya mekanisme dampak saring (filtering effect), yaitu suatu dampak yang disebabkan oleh program pembangunan yang hanya bisa dinikmati oleh mereka yang sesuai dengan program pembangunan, sementara mereka yang tidak masuk dalam standar tidak memperolehnya.
Sementara itu segmentasi dalam bentuk terjadinya kesatuan-kesatuan sosial yang terikat ke dalam ikatan-ikatan primordial dengan sub-kebudayaan yang berbeda dengan lainnya sangat mudah sekali melahirkan konflik-konflik sosial. Dalam hal yang seperti ini etnopolitic conflict akan terjadi dalam dua dimensi; dimensi pertama adalah konflik di dalam tingkatan ideologis, konflik ini terwujud didalam bentuk konflik antara sistem nilai yang dianut oleh etnik pendukungnya serta menjadi ideologi dari kesatuan sosial. Dimensi kedua adalah konflik yang terjadi dalam tingkatan politis, pada konflik ini terjadi dalam bentuk pertentangan didalam pembagian status kekuasaan, dan sumber ekonomi yang terbatas dalam masyarakat.9 Hal ini sesuai dengan konsep konflik yang definisikan oleh Lewis Coser, bahwa konflik sesungguhnya adalah usaha untuk memeperebutkan status, kekuasaan, dan sumber-sumber ekonomi yang sifatnya terbatas, pihak-pihak yang berkonflik bukan hanya berniat untuk memperoleh barang yang dimaksud tetapi juga berniat untuk menghancurkan lawannya.10 Dalam kondisi konflik, maka sadar ataupun tidak sadar setiap yang berselisih akan berusaha untuk meningkatkan dan mengabdikan diri dengan cara memperkokoh solidaritas kedalam diantara sesama anggotanya, membentuk organisasi-organisasi kemasyarakatan untuk keperluan kesejahteraan dan pertahanan bersama;11 mendirikan sekolah untuk memperkuat identitas kultural, meningkatkan sentimenitas etnosentrisme, stereotipisme, keagamaan, dan usaha-usaha lain yang meningkatkan primordialisme.
Dominasi Etnik dan Mekanisme Dampak Saring (Filtering Eeffect)
Perbedaan kesejarahan, geografis, pengetahuan, ekonomi, peranan politik, dan kemampuan untuk mengembangkan potensi kebudayaannya sesuai dengan kaidah yang dimiliki secara optimal sering menimbulkan dominasi etnik dalam struktur sosial maupun struktur politik baik dalam tingkat lokal maupun nasional. Dominasi ini pada akhirnya melahirkan kebudayaan dominan (dominan culture), dan kebudayaan tidak dominan (inferior culture)12, yang pada titik tertentu akan melahirkan konflik antar etnik yang berkepanjangan, antara yang superior dengan yang inferior. Contoh yang paling aktual adalah bagaimana perlawanan dari gerakan sparatis Macan Elam Tamil di Sri Lanka, yang ingin melepaskan diri dari pemerintahan Sri Kumaratunga yang didominasi oleh etnik Sinhala. Etnik mayoritas Sinhala menguasai seluruh akes negara dari bidang ekonomi, pendidikan, militer sampai dengan politik, sehingga etnik Tamil bangkit melawan senjata dalam organisasi LTTE-nya dengan perlawanan yang sangat luar biasa massif selama dua puluh tahun lebih. Dominasi etnik dan kebudayaan, dimanapun dan kapanpun jika dimanfaatkan secara politik untuk kepentingan golongan, bukan untuk bangsa dan negara selalu melahirkan konflik yang bersifat horisontal dan vertikal.
Kebudayaan dominan dalam struktur masyarakat yang majemuk menurut Bruner disebabkan oleh tiga hal; 1). Faktor Demografis, dalam konteks keindonesiaan adalah kesenjangan jumlah penduduk yang sangat timpang antara pulau Jawa dan luar Jawa, padahal luas pulau Jawa hanya seperempat dari luas pulau luar Jawa; sementara 70% penduduknya terkosentrasi di pulau Jawa. Karena itu secara demografis penduduk pulau Jawa lebih dominan jika dibandingkan dengan di pulau luar Jawa. 2). Faktor Politis, hal ini jelas terlihat sekali bagaimana dominasi etnik tertentu –Jawa katakanlah—dalam struktur pemerintahan Indonesia. Akibatnya, banyak sekali kebijakan-kebijakan dari pemerintah pusat cenderung tidak adil, sebab seringkali menguntungkan kelompok golongan tertentu, sehingga menimbulkan ketidakpuasan bagi kelompok (etnik) tertentu. Kemudian, kegagalan mengartikulasi kepentingan politik etnik dan tersumbatnya komunikasi politik menimbulkan perlawanan etnik yang sangat luar biasa kuatnya. 3). Budaya Lokal, pusat pemerintahan RI yang berpusat di pulau Jawa pada akhirnya merangsang tumbuhnya kebudayaan lokal menjadi kebudayaan yang dominan. Hal ini disokong oleh birokrat-birokrat pemerintah dalam bidang ekonomi, pendidikan, politik, dan sosial-keamanan, ketimpangan antara pulau Jawa dan Luar Jawa dari dahulu sudah sangat mengkewatirkan integrasi nasional.
Pada sisi lain usaha pemerintah untuk memeratakan jumlah penduduk di Jawa dan di luar Jawa lewat program Transmigrasi juga menimbulkan banyak persoalan. Ternyata disamping kesulitan untuk beradaptasi dengan kebudayaan lokal, para pendatang dari Jawa juga sering mendapatkan perhatian yang lebih dari pemerintah pusat. Para transmigran yang mempunyai tingkat pendidikan lebih baik, lebih mudah untuk merespon pembangunan yang selama ini dijalankan oleh lemerintah RI. Hal ini bisa kita lihat di daerah Sambas, Ambon, Maluku, dan khususnya di Timika Irian Jaya. Dalam kasus di Timika terlihat sangat jelas, bagaimana para penduduk pribumi sangat ketinggalan dalam melakukan kompetisi menerima program pembangunan pemerintah pusat, sehingga dominasi (politik dan ekonomi) dipegang oleh para pendatang. Akibatnya adalah, terjadinya mekanisme dampak saring (filtering effect), sehingga “tetesan ke bawah kue pembangunan” sebagian besar tertahan oleh kelompok pendatang.13Mekanisme dampak saring ini ternyata terjadi hampir di setiap tempat transmigrasi di luar pulau Jawa. Dalam kasus di Abepura, pasar menjadi sasaran utama untuk dihancurkan, karena mereka merasa terpinggirkan oleh para pendatang dalam mengakses kepentingan ekonomi.
Berkobarnya Perang Etnik dan Gerakan Sparatisme
Seandinya pemerintah pusat gagal untuk melaksanakan rekonsiliasi nasional, melakukan komunikasi politik pusat-daerah, mencegah melebarnya mekanisme dampak saring, dan gagal melakukan otonomi (khusus) daerah sesuai dengan aspirasi etnik (masyarakat) yang bersangkutan, maka perang etnik dan gerakan sparatisme akan mencapai puncaknya. Kecurigaan etnik yang bersangkutan—Aceh, Papua, Maluku dan lain-lain—yang bersumber dari sejarah dan hubungan sosial yang timpang selama ini akan menjadi hambatan komunikasi politik antar etnik dengan pemerintah pusat. Keputusan politik yang menguntungkan satu pihak, dan merugikan pihak lain akan menimbulkan konflik etnik yang berkepanjangan. Di lain pihak ketidakpuasan dalam ranah kultural selalu meningkatkan solidaritas politik, primordialisme, etnosentrisme, dan gerakan sparatiems (mesianic movement) pada setiap suku bangsa (etnik). Kehidupan politik yang selalu tidak stabil di pusat, supremasi hukum mati, KKN merajalela dari pusat sampai dengan daerah, kepentingan partai dan golongan lebih diutamakan daripada kepentingan rakyat, bangsa, dan negara, maka akan semakain menambah gerakan-gerakan sparatisme di Indonesia dan mengancam integrasi nasional. Hal ini semakin diperparah dengan adanya eksploitasi sumber daya alam selama orde baru berkuasa terhadap daerah-daerah di luar Jawa.
Pemerintah NKRI sekarang sedang menghadapi ujian dan beban yang sangat berat menjaga keutuhan wilayahnya. Setelah lepasnya Timor-Timur, maka Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Organisasi Papua Merdeka (OPM) menjadi kendala pemerintah dalam melakukan rekonsiliasi nasional. Negara Indonesia harus melakukan kaji historis dan kaji ulang tentang bagaimana melakukan integrasi seluruh etnik agar terjadi integrasi yang permanen (tidak semu). Meminjam istilah Furnivall (Shepsle dalam Suharman 1999) bahwa intergrasi sosial yang melibatkan beberapa etnik sebenarnya melalui paksaan (coercion) suatu kelompok yang dominan terhadap kelompok lain yang tidak dominan. Kooptasi berbagai kekuatan politik lokal dilakukan untuk mematahkan berbagai tuntutan yang tidak searah dengan yang dikehendaki oleh pemerintah pusat. Proses ini dilakukan dengan mengembangkan sistem perwakilan kepentingan melalui organisasi fungsional nonideologis, atau proses korporatisme negara (Maso’ed dalam Suharman, 1999; 416)
Epilog
Integrasi adalah proses sosiologis dan antropologis yang tidak bisa dilakukan dan ditempuh dalam waktu yang singkat. Tetapi memerlukan proses pembudayaan dan konsensus sosial politik diantara suku bangsa (etnik) yang ada di dalam negara kesatuan Indonesia. Kalau kita menggunakan pendekatan konflik sebagaimana diilustrasikan oleh Lewis C. Coser dan George Simell, maka kerangka masyarakat yang akan kita dapatkan adalah integrasi yang selalu berada dalam bayang-bayang konflik antar etnik yang berkepanjangan. Kalau kita mengikuti pandangan penganut fungsional struktural dari Auguste Comte, melalui Durkheim sampai dengan Parsons, maka yang akan menjadi faktor mengientegrasikan masyarakat Indonesia tentulah sebuah nilai umum tentang kesepakatan bersama antar masyarakat. Nilai-nilai umum tertentu yang disepakati secara bersama itu tidak hanya disepakati oleh sebagian besar orang (etnik), akan tetapi lebih daripada itu nilai-nilai umum tersebut harus dihayati melalui proses sosialisasi14, akulturasi, asimilasi, dan enkulturasi. Proses ini pernah dibuktikan oleh kesepakatan bersama dalam sumpah pemuda yang menghasilkan nasionalisme dan menyatukan rakyat Indonesia secara sosial dan politik dengan semboyannya; satu tanah air, satu bahasa, dan satu bangsa. Mengikuti pemikiran R. William Liddle, konsensus nasional yang mengintegrasikan masyarakat yang pluralistik pada hakekatnya adalah mempunyai dua tingkatan sebagai prasyarat bagi tumbuhnya suatu integrasi nasional yang tangguh. Kedua syarat itu adalah: 1). Pertama sebagian besar anggota suku bangsa bersepakat tentang batas-batas teritorial dari negara sebagai suatu kehidupan politik dalam mana mereka sebagai warganya.2). Apabila sebagian besar anggota masyarakatnya bersepakat mengenai struktur pemerintahan dan aturan-aturan dari proses politik yang berlaku bagi seluruh masyarakat diatas wilayah negara yang bersangkutan.15 Lebih lanjut Nasikun (1989; 73) menambahkan bahwa integrasi nasional yang kuat dan tangguh hanya akan berkembang diatas konsensus nasional mengenai batas-batas suatu masyarakat politik dan sistem politik yang berlaku seluruh masyarakat tersebut. Kemudian, suatu konsensus nasional mengenai bagaimana suatu kehidupan bersama sebagai bangsa harus diwujudkan atau diselenggarakan, melalui suatu konsensus nasional mengenai “sistem nilai” yang akan mendasari hubungan-hubungan sosial diantara anggota suatu masyarakat negara.16
Sementara itu, menurut Max Weber bahwa sistem nilai merupakan dasar pengesahan (legitimacy) dari struktur kekuasaan (authority) suatu masyarakat, maka konsensus nasional mengenai bagaimana suatu kehidupan bersama sebagai bangsa harus diwujudkan, pada akhirnya akan merupakan konsensus nasional terhadap suatu rezim tertentu yang sedang berkuasa. Dalam konteks Indonesia, maka proses integrasi nasional haruslah berjalan alamiah, sesuai dengan keanekaragaman budayanya dan harus lepas dari hegemoni dan dominasi peran politik etnik tertentu. Proses integrasi harus melalui fase-fase sosial dan politik. Mengikuti alur pemikiran Ogburn dan Nimkof (penganut fungsionalisme struktural) bahwa integrasi merupakan sebuah proses : Akomodasi—kerjasama—koordinasi—asimilasi. Asimilasi ini merupakan proses dua arah (to way process) antara etnik yang berbeda, sehingga diperoleh sebuah konsensus dan kesepahaman atas dasar keanekaragaman budaya. Konsensus nasional mengenai bagaimana kehidupan bangsa Indonesia harus diwujudkan atau diselenggarakan, dan sebagian harus kita temukan didalam proses pertumbuhan pancasila sebagai dasar falsafah atau ideologi negara. Sayang, para elite politik tidak pernah belajar dari sejarah pertumbuhan pancasila, sehingga orientasi mereka bukanlah semata-mata untuk kepentingan persatuan, kesatuan, dan kejayaan bangsa Indonesia. Sehingga mereka tidak pernah memahami budaya politik lokal dan aspirasi budaya lokal, yang mereka utamakan adalah kekuasaan, golongan, partai sebagai “eternal oriented”. Akhirnya akses ekonomi dan politik yang seharusnya menjadi milik masyarakat (etnik) terkooptasi oleh mereka, maka kesenjangan dan ketidakpuasan adalah hasil yang kita lihat sekarang ini. Kalau hal ini terus dipelihara, maka KKN, distorsi hukum, konflik antar etnik, sparatisme, dan keterpurukan akan menjadi santapan pagi seluruh rakyat Indonesia. Dan nasib bangsa Indonesia menjadi “almarhum” macam Uni Soviet dan Yugoslavia tinggal menunggu waktu, wallohua’lam bissowab.
















Memusnahkan Takdir

MEMUSNAHKAN TAKDIR
Oleh c.m.
Keadaan hidup kaum tak bermodal di dalam kehidupan sekarang ini terdiri dari dua jenis "pemerkosaan" terhadap kemanusiaan. Yaitu pemerkosaan dalam bidang produksi dan konsumsi. Pemerkosaan ini dilakukan oleh kaum yang memiliki modal, kaum yang melakukan produksi. Maksud 'melakukan produksi' di sini adalah dalam artian memiliki modal untuk berproduksi, bukan orang-orang yang secara nyata melakukan produksi.
Yang menjadi objek pemerkosaan dalam bidang produksi tidak lain adalah kaum yang sesungguhnya secara nyata bekerja menghasilkan produk dan nilai: Buruh. Sementara semua orang yang tidak memiliki modal secara tidak sadar tengah menjadi orang-orang yang diperkosa dalam bidang konsumsi. Tujuan dari tulisan ini adalah untuk berusaha mengangkat kedua jenis "pemerkosaan" tersebut ke permukaan, menelanjanginya, serta kemudian melihat apa yang sudah kita lakukan dan apa yang seharusnya kita lakukan.
IYang melakukan kerja secara nyata menghasilkan produk dan nilai bukanlah para pemilik modal, yang melakukan kerja itu adalah buruh. Tetapi yang didapatkan buruh dari hasil kerjanya hanyalah upah untuk tetap hidup, sementara setiap keuntungan yang diperoleh dari hasil penjualan barang dan jasa yang mereka hasilkan masuk ke dalam kantong pemilik modal. Segala keputusan menyangkut pekerjaan yang dilakukan oleh buruh pun tidak berada di tangan mereka, melainkan sekali lagi menjadi hak pemilik modal. Dengan kata lain posisi buruh di dalam sebuah sistem produksi tidaklah lebih dari mesin, berproduksi sesuai keinginan pemiliknya, tanpa hak apapun untuk menentukan produksi yang dilakukannya, dan tidak ada apapun yang didapat selain kesempatan untuk tetap hidup - untuk kemudian dibuang setelah tidak diperlukan lagi.
Keadaan ini diperparah dengan kenyataan bahwa buruh hanya mengerjakan satu bagian kecil dari suatu produk seutuhnya, untuk kemudian hasil pekerjaannya itu bukan saja sama sekali tidak menjadi milik mereka, malah bahkan umumnya tidak diperuntukkan bagi kelas pekerja yang tidak akan mampu membelinya. Hasilnya adalah keterasingan kaum buruh, pertama adalah keterasingan dari dirinya sendiri karena hidup dan pekerjaan yang dijalaninya bukanlah kehidupan yang dapat ia tentukan sendiri, karena apa yang dilakukannya hanyalah 'berproduksi' tanpa 'berkarya' (tidak ada segi kreatif apapun dari apa yang dikerjakannya, yaitu mengulang-ulang hal yang sama sepanjang hari dan sepanjang masa kerjanya), karena kaum buruh tidak menjalani hidupnya sebagai manusia - melainkan sebagai mesin. Kedua adalah keterasingan dari hasil pekerjaannya, karena apa yang dikerjakannya bukanlah menjadi milik mereka, karena tidak ada hak apapun baginya atas barang yang telah ia hasilkan, karena ia tidak akan mengenali lagi produk yang telah jadi sebagai hasil pekerjaannya.
Dapat kita katakan bahwa dengan terpaksa kaum buruh menyerahkan hidup dan tenaganya kepada pemilik modal, karena tidak ada apapun dari hasil pekerjaannya yang menjadi miliknya, kecuali kesempatan untuk bertahan hidup - agar dapat terus menerus "diperkosa" oleh pemilik modal. Sementara itu keuntungan yang didapatkan pemilik modal akan terus bertambah dari hari ke hari, membuatnya dapat memperluas usaha, menambah jumlah buruh, meningkatkan produksi, melipat-gandakan modal, kembali menghasilkan keuntungan, dan seterusnya. Semua keuntungan yang didapatkan oleh pemilik modal tersebut, tidak lain adalah hasil pekerjaan nyata kaum buruh yang diperlakukan layaknya mesin, serta terasing dari dirinya sendiri dan dari hasil pekerjaannya.
Keadaan yang dialami oleh kaum tani yang tidak memiliki tanah pun tidak berbeda. Yang dapat mereka lakukan hanyalah menjual tenaga untuk menggarap tanah milik orang lain, menghasilkan berbagai macam hasil bumi yang sama sekali bukan menjadi milik mereka, melainkan menjadi hak pemilik tanah.
IIPrinsip produksi yang selalu berlaku adalah "produksi sebanyak-banyaknya dengan pengorbanan seminimal mungkin," Produksi harus dilakukan seefisien dan seekonomis mungkin sehingga keuntungan bisa maksimal. Pada masa lalu hal ini dapat dicapai dengan dua jalan, pertama adalah membangun koloni-koloni tempat negara-negara maju mendapatkan bahan mentah, tenaga kerja, dan pasar tempat menjual produknya. Kedua dengan menekan tingkat upah buruh sekecil-kecilnya dan memaksimalkan waktu kerja buruh, kaum buruh Eropa adalah korban dari prinsip produksi ini di masa lalu. Setiap kemajuan teknologi dan teknik tidak ditujukan untuk memperbaiki kehidupan kaum buruh, melainkan untuk terus semakin meningkatkan produksi.
Seiring perubahan zaman, setelah perjuangan dari kaum buruh di seluruh dunia selama ratusan tahun, pada masa sekarang akhirnya dapat dinikmati hak-hak dasar bagi kaum buruh di setiap negara beradab. Namun karena kekuasaan untuk mengambil keputusan dan segala hak menyangkut hasil produksi masih tetap berada pada pihak kaum pemilik modal, sifat dasar dari pekerjaan kaum buruh belumlah berubah: Hanya mesin belaka.
Dewasa ini, ada suatu gejala tambahan lain yang patut diperhatikan. Dengan segala kemajuan yang telah dicapai umat manusia, dengan didukung oleh teknologi dan teknik yang mutakhir, akhirnya tingkat produksi yang tinggi bukan lagi menjadi permasalahan. Dunia telah menikmati keberlimpahan dan keberlebihan produksi, bukan hanya hal-hal dasar yang penting bagi kehidupan manusia, melainkan juga segala hal tambahan dengan jenis dan fungsi yang amat luas.
Dengan demikian yang menjadi permasalahan utama bagi para produsen (pemilik modal) sekarang bukan lagi produksi itu sendiri, melainkan bagaimana agar barang yang telah diproduksi dengan jumlah amat banyak itu dapat dikonsumsi habis oleh masyarakat sehingga menghasilkan keuntungan yang maksimum. Untuk tujuan ini, masyarakat harus diubah menjadi mesin-mesin pengkonsumsi, yang akan menghabiskan apapun dan berapa banyakpun barang yang diproduksi. Usaha untuk menuju ke arah ini dilakukan melalui indoktrinasi media massa, penyebaran budaya trend, mode, fashion, budaya kehidupan konsumtif, budaya casing, budaya pop, dan berbagai macam cara lain yang puncaknya adalah sebuah fakta bahwa "... satu trilyun dollar AS yang digunakan [dunia] untuk belanja iklan selama setahun." (Sumber: "Kapitalisme Neoliberal - Tak Kenal Altruisme, Etika, dan Kemurahan Hati", koran Kompas Senin, 3 Februari 2003, halaman 34. Ditulis oleh Maria Hartiningsih tentang World Social Forum III di Porto Alegre, Brasil)
Setelah masyarakat berhasil diubah menjadi mesin yang akan mengkonsumsi apa-pun yang diproduksi, maka watak produksi masa sekarang pun telah berubah. Bukan lagi bertujuan untuk menghasilkan produk-produk yang berguna bagi kehidupan manusia, melainkan produk-produk yang akan paling banyak dan paling cepat menghasilkan keuntungan. Karena itu kita dapat melihat betapa banyak barang-barang yang sesungguhnya tidak memiliki nilai guna sedikitpun diproduksi dalam jumlah yang besar dan amat disenangi oleh remaja-remaja perkotaan, sementara di tempat-tempat lain kekurangan pangan atau kebutuhan pokok lainnya terasa begitu mendesak. Hal tersebut selain disebabkan juga oleh kenyataan (yang belum berubah) bahwa yang bisa mendapatkan hidup yang nyaman adalah yang mempunyai uang.
Hasil dari keadaan ini adalah masyarakat yang "sakit" dan terasing. Manusia mengkonsumsi bukan karena kebutuhannya dan bahkan bukan karena keinginannya sendiri, melainkan karena kebutuhan dan keinginan yang dicangkokkan dari luar. Manusia yang telah diubah menjadi manusia-manusia yang selalu tidak merasa cukup. Manusia yang tidak lagi mengerti mengapa mereka harus membeli sebagian besar produk-produk yang telah mereka beli. Manusia dengan kebudayaan-kebudayaan buatan, dengan dasarnya adalah budaya super-konsumerisme. Manusia yang telah "diperkosa" oleh sistem, diubah menjadi mesin-mesin pengkonsumsi produk.
IIIKalau kita masih memiliki harapan tentang masa depan yang lebih baik, maka yang terutama mampu mengubah keadaan masyarakat yang sakit seperti yang telah dibahas sebelumnya, yang mampu mengakhiri "pemerkosaan" sistem terhadap manusia, hanyalah kaum buruh dan ditambah dengan kaum tani. Karena di tangah kaum buruh lah kekuatan produksi yang nyata terletak, sebagai kelas yang dieksploitasi sejak awal mula kelahiran sistem kapitalisme, sebagai kelas yang menjadi syarat tetap hidupnya sistem kapitalisme.
Telah ratusan tahun kaum buruh memperjuangkan keadaan hidup yang lebih baik. Dari masa awal revolusi industri di Inggris, pun hingga masa sekarang di Tanah Air. Demonstrasi-demonstrasi menuntut kenaikan upah, pengurangan jam kerja, menolak PHK massal, menuntut jaminan-jaminan kerja, dan berbagai tuntutan hak-hak lain yang selayaknya didapatkan kaum buruh. Semua itu adalah tuntutan-tuntutan pemenuhan kebutuhan ekonomis yang aktual, menyangkut perbaikan-perbaikan dalam kehidupan kaum buruh. Tetapi harus diingat, bahwa dengan semua tuntutan itu, walaupun pada akhirnya kaum buruh akan mendapatkan keadaan hidup yang layak, sama sekali tidak akan mengakhiri penghisapan dan eksploitasi terhadap kaum buruh, serta tidak akan mengakhiri "pemerkosaan" sistem terhadap manusia.
Penghisapan dan eksploitasi terhadap kaum buruh, serta pemerkosaan yang terjadi, akan berakhir jika sistem dirombak secara total; jika modal tidak lagi dimiliki oleh orang-orang tertentu, jika apa yang dikerjakan oleh kaum buruh tidak lagi menjadi hak milik pemodal, jika kekuasaan dan hak untuk membuat keputusan yang menyangkut pekerjaannya dimiliki oleh mereka yang secara nyata melakukan kerja: KAUM BURUH. Lebih jauh lagi, pemerkosaan akan berakhir jika mode, prinsip, dan tujuan produksi diubah secara mendasar, yaitu jika produksi tidak lagi ditujukan pada keuntungan, melainkan pada manusia itu sendiri.
Hal-hal tersebut di atas tidak akan didapatkan hanya dengan perjuangan-perjuangan ekonomis yang aktual seperti tuntutan kenaikan upah, melainkan hanya bisa didapatkan dengan satu kondisi yang harus terpenuhi: Kekuasaan di tangan kaum buruh dan kepemilikan bersama atas modal. Dari sana kaum buruh dapat memulai sebuah sistem yang berdiri atas dasar kemanusiaan, produksi dan konsumsi yang manusiawi, perekonomian yang tidak berdasarkan persaingan, dan kesetaraan dalam segala hal. Singkatnya, memanusiakan kembali manusia.
IVJika terhadap tuntutan kenaikan upah yang diajukan kaum buruh saja pemilik modal dan anjing penjaganya tampak begitu tidak suka, maka tidak dapat dibayangkan reaksi dan ketidaksukaan mereka terhadap ide bahwa kekuasaan harus dipegang kaum buruh dan modal dimiliki bersama. Tidak saja hendak mengurangi keuntungan yang mereka dapatkan, ide ini bahkan hendak menjatuhkan mereka dari puncak kekuasaan dan merampas kembali modal yang selama ini mereka dapatkan dari hasil keringat kaum buruh. Melihat dari hal itu saja, sudah jelas bagi kita, perjalanan dan perjuangan yang harus dilakukan tentulah amat sangat berat.
Lalu mungkin akan muncul pernyataan dari kaum buruh sendiri, bahwa tidak perlulah mengambil alih kekuasaan, tidak perlulah memperjuangkan kepemilikan bersama atas modal, yang terpenting hanyalah hidup yang mencukupi dan tidak sengsara, bahwa hidup menjadi buruh sudah merupakan takdir dan nasib yang merupakan hidup yang harus dijalani, dan lain-lain.
Izinkan kami untuk mengingatkan sekali lagi kepada kawan. Pertama, bahwa perbaikan taraf kehidupan sama sekali tidak akan mengakhiri penghisapan, eksploitasi, dan nasib kaum buruh yang diperlakukan seperti mesin, pun tidak akan mengakhiri pemerkosaan-pemerkosaan yang dilakukan kaum pemilik modal terhadap manusia. Kedua, bahwa jika memang kehidupan sebagai kaum buruh yang dihisap dan dieksploitasi seperti mesin adalah merupakan takdir, maka berarti sudah saatnya bagi kaum buruh untuk membongkar, menjungkir-balikkan, dan memusnahkan takdir itu!!
21 Januari 2005 14:14***

Keluhan Para Makhluk Tertindas

KELUHAN PARA MAKHLUK TERTINDAS
Agama dari kacamata Marxis
Oleh Suara Sosialis

Kita sering mendengar tuduhan bahwa Marxisme bertentangan dengan agama serta memusuhi orang yang taat. Bukankah Marx pernah menyebutkan agama sebagai "candu rakyat"?
Sebetulnya sikap Marx dan Lenin dalam hal ini sering disalahartikan, baik oleh orang non-sosialis maupun oleh tidak sedikit orang yang mengaku Marxis. Kritik Marx yang termasyur mengenai peranan agama dalam masyarakat sebetulnya tidak diarahkan untuk meremehkan kepercayaan manusia pada Tuhan.
Memang betul bahwa Marx, sebagai seorang filosof yang bersikap materialis, tidak percaya pada Tuhan. Namun demikian Marx sangat menaruh simpati pada rakyat biasa yang beragama. Untuk memahami sikap Marx yang sebenarnya, mari kita menyimak tulisannya "Kritik terhadap Filsafat Hukum Hegel". Di sini kita mendapati rumusan terkenal tentang "candu rakyat", tapi dalam konteks spesifik.
"Di negeri Jerman," tulisnya, "kritik terhadap agama dalam garis besar sudah lengkap". Artinya, kritik tersebut sudah diselesaikan oleh kaum filosof yang mendahului Marx (kaum "Hegelian Muda" terutama Feuerbach). Marx merangkum kritik mereka sebagai berikut:
"Landasan untuk kritik sekuler adalah: manusialah yang menciptakan agama, bukan agama yang menciptakan manusia. Agama adalah kesadaran-diri dan harga-diri manusia yang belum menemukan diri atau sudah kehilangan diri sendiri."
Kedua kalimat ini memaparkan, bahwa agama (dan Tuhan) merupakan produk ideologis yang dibuat oleh manusia. Namun di mata Marx, penciptaan itu memiliki segi yang agung sekaligus mengharukan. Kemudian Marx berpaling ke aspek sosial yang merupakan perhatian utamanya:
"Namun manusia bukanlah suatu makhluk yang berkedudukan di luar dunia. Manusia itu adalah dunia umat manusia, negara, masyarakat. Negara ini, masyarakat ini menghasilkan agama, sebuah kesadaran-dunia yang terbalik, karena mereka sendiri merupakan sebuah dunia terbalik."
Jika manusia melihat dunia melalui kacamata agamis yang terbalik, itu disebabkan karena manusia hidup dalam masyarakat yang timpang:
"Agama merealisasi inti manusia dengan cara fantastis karena inti manusia itu belum memiliki realitas yang nyata. Maka perjuangan melawan agama menjadi perjuangan melawan sebuah dunia nyata yang aroma jiwanya adalah agama tersebut." Kaum sosialis tidak diajak berkampanye malawan agama sebagai tugas pokok, melainkan diajak berkampanye melawan bentun-bentuk sosial yang timpang.
Tugas utama kaum Marxis adalah untuk memberantas eksploitasi dan pendindasan, dan agama juga merupakan protest terhadap penindasan itu:
"Kensengsaraan agamis mengekspresikan kesengsaraan riil sekaligus merupakan protes terhadap kesengsaraan itu. Agama adalah keluhan para makhluk tertindas, jantung-hati sebuah dunia tanpa hati, jiwa untuk keadaan tak berjiwa. Agama menjadi candu rakyat.
Tanpa perjuangan untuk pembebasan sosial, kritik terhadap agama adalah sia-sia bahkan negatif, karena kritik semacam itu hanya mempersulit penghiburan emosional yang sangat dibutuhkan oleh manusia:
"Kritik telah merenggut bunga-bunga imajiner dari rantai, bukanlah supaya manusia akan terus mengenakan rantai yang tak terhias dan suram itu, melainkan agar dia melepaskan rantai itu dan memetik kembang hidup."
Marx menutup teks ini dengan menhimbau agar kaum filosof meninggalkan kritik terhadap agama demi memperjuangkan perubahan sosial:
"Maka begitu dunia di luar kebenaran itu hilang, tugas ilmu sejarah adalah untuk memastikan kebenaran dunia nyata ini. Begitu bentuk suci dari keterasingan manusia telah kehilangan topengnya, maka tugas mula bagi filsafat, yang menjadi pembantu ilmu sejarah, adalah untuk mencopot topeng keterasingan dalam bentuk-bentuk yang tak suci. Sehingga kritik terhadap surga menjelma menjadi kritik terhadap alam nyata; kritik terhadap agama menjadi kritik terhadap hukum, dan kritik teologi menjadi kritik politik."
Sentimen ini mengulangi isi semboyan revolusioner yang dimuat dalam Tesis IX Tentang Feuerbach (tulisan Marx): "Para ahli filsafat hanya telah menafsirkan dunia, dengan berbagai cara; akan tetapi soalnya ialah mengubahnya".
LeninDalam Revolusi Rusia, Lenin dan Partai Bolsyevik menerapkan kebijakan yang berlandaskan pada prinsip-prinsip Marx tersebut di atas. Maka dalam pemerintahan, kaum Bolsyevik tidak mengambil sikap anti-agama, melainkan kepercayaan pada Tuhan dianggap sebagai masalah pribadi saja. Menurut Lenin (dalam "Sosialisme dan Agama", 1905):
"Kita minta agar agama dipahami sebagai sebuah persoalan pribadi ... seharusnya agama tidak menjadi perhatian negara, dan masyarakat religius seharusnya tidak berhubungan dengan otoritas pemerintahan. Setiap orang sudah seharusnya bebas mutlak untuk menentukan agama apa yang dianutnya, atau bahkan tanpa agama sekalipun, yaitu, menjadi seorang atheis ... Bahkan untuk sekedar penyebutan agama seseorang di dalam dokumen resmi tanpa ragu lagi mesti dibatasi."
Pemerintahan Bolsyevik memang memusuhi lembaga-lembaga agamis yang konservatif, dan melawan hubungan resmi antara negara dan agama, tetapi sekali lagi untuk menjaga prinsip-prinsip demokrasi:
"Subsidi-subsidi tidak boleh diberikan untuk memapankan gereja, negara juga tidak boleh memberikan tunjangan untuk asosiasi religius dan gerejawi. Ini harus secara absolut menjadi perkumpulan bebas orang-orang yang berpikiran begitu, secara independen dari negara. Hanya pemenuhan seutuhnya dari tuntutan ini yang dapat mengakhiri masa lalu yang memalukan dan terkutuk, ketika gereja hidup dalam ketergantungan feodal pada negara, dan rakyat Rusia hidup dalam ketergantungan feodal pada gereja yang mapan..."
Sikap kaum Bolsyevik sebagai partai politik memang agak berbeda. Sebagai sebuah organisasi Marxis, partai melawan ideologi agamis dalam kelas pekerja:
"Partai kita adalah sebuah perhimpunan para pejuang maju yang berkesadaran kelas, yang bertujuan untuk emansipasi kelas pekerja. Sebuah asosiasi seperti itu tidak dapat dan tidak seharusnya mengabaikan adanya kekurangan kesadaran- kelas, ketidaktahuan atau klenik-klenik dalam bentuk keyakinan-keyakinan agama ... kita mendirikan asosiasi kita ... tepatnya untuk sebuah perjuangan melawan setiap agama yang menina bobokkan para pekerja..."
Meski begitu, mereka tidak melarang orang beragama masuk partai:
"Jika memang demikian, mengapa kita tidak menyatakan dalam Program kita bahwa kita adalah atheis? Mengapa kita tidak melarang orang-orang Kristen dan para penganut agama Tuhan lainnya untuk bergabung dalam partai kita?
"[Karena] kita tidak boleh jatuh dalam kesalahan merumuskan persoalan agama secara abstrak dan idealistis, sebagai sebuah masalah "intelektual" yang tak berhubungan dengan perjuangan kelas, ... Tentulah bodoh untuk berpikir bahwa, dalam sebuah masyarakat yang berdasarkan pada penindasan tanpa akhir dan merendahkan massa pekerja, prasangka-prasangka agama bisa disingkirkan hanya melalui metode propaganda melulu."
Seperti Marx, Lenin beranggapan bahwa agama merupakan "keluhan para makhluk tertindas", sehingga "prasangka agama" tidak bisa dihilangkan tanpa menjungkirbalikkan tatanan sosial. Sebelum perubahan itu dapat tercapai, sikap anti-agama hanya menjadi sektarian, dan bisa memecahkan kelas pekerja.
Paska RevolusiBagaimana dalam masyarakat sosialis di masa depan? Apakah kaum Marxis akan melarang agama atau menindas orang yang taat? Pertanyaan ini sering diungkit dan bisa dipahami, karena rezim-rezim stalinis (yang pura-pura sosialis) memang melarang serta menindas agama. Selain itu, bukankah Marx dan Lenin menekankan bahwa agama hanya bisa amblas setelah penindasan diberantas? Kalau begitu, apakah agama mau "dihilangkan" secara aktif oleh masyarakat sosialis?
Sama sekali tidak. Marxisme, yang berlandaskan pada materialisme, berharap agama akan menghilang *dengan sendirinya* bila semua penindasan diberantas. Artinya, selama manusia masih merasa memerlukan agama, itu membuktikan bahwa pendindasan masih terjadi. Maka kaum Marxis mesti berjuang terus melawan penindasan, bukan memushi agama.
Dalam waktu jangka panjang, pandangan teoritis kaum Marxis dalam hal ini memang akan teruji. Apabila dalam masyarakat sosialis seutuhnya yang akan tiba, manusia tetap merasa memerlukan agama, itu hak mereka. Akan tetapi jika mereka tidak lagi merasa begitu, analisis materialis Marxisme tentang agama akan terbukti benar.

Wednesday, May 16, 2007

Salam Berbuah Cinta

Salam Berbuah Cinta
Oleh: Bayu Gawtama

Diro, sebut saja begitu nama lelaki bujangan asli Jawa ini. Dirodikenal sebagai lelaki yang sopan, hanif, dan punya ciri khas, yaknisenang mengucapkan salam "Assalaamu'alaikum" kepada siapa pun -muslim-yang dijumpainya di manapun.Suatu ketika, Diro ditugaspindahkan ke kota X, untuk jangka waktu duatahun. Setibanya di kota X itu, lelaki bujangan ini langsung mencaritempat kos/kontrakan yang tidak jauh dari tempatnya bekerja. Setelahtiga hari di kota tersebut, Diro baru menyadari bahwa ada gadis cantikdan shalihah yang tinggal hanya beberapa meter dari kos-nya. Sepertibiasa, tanpa maksud buruk, tanpa niat menggoda, Diro pun mengucapkansalam kepada gadis itu, saat keduanya bersama-sama menunggu bis di tepijalan.Sekali lagi, Diro tidak punya niat apapun ketika mengucapkan salam."Dia berjilbab, jadi sudah pasti muslim, maka saya ucapkan salamkepadanya. Lagi pula gadis itu tetangga saya, kan wajar sama tetanggasaling menyapa, " alasannya.Ucapan salam Diro dibalas delikkan mata tidak suka dari gadistetangganya itu. Namun Diro tidak peduli, karena niatnya sangat tulus.Begitu pun sore harinya, ketika berpapasan di jalan, Diro kembalimengucapkan, "Assalaamu'alaikum Dik... " Jawabannya tidak berbedadengan pagi hari, wajah tidak suka.Mungkin pikir si gadis itu, Diro tidak ubahnya lelaki iseng yang senangmenggoda. Sudah lazim diketahui, lelaki-lelaki iseng dan kurang kerjaansenang menggoda wanita. Dan bila yang digoda adalah wanita berjilbab,ucapan "Assalaamu'alaikum" biasa dijadikan andalan mulut-mulut lelakiini.Berbeda dengan Diro. Dia tidak sakit hati ketika salamnya tidakdibalas, atau bahkan dibalas dengan tatap mata sinis. Setiap hari,setiap kali bertemu dengan gadis itu tetap mengucapkan salam. Dirotidak bosan meski salamnya selalu mendapat jawaban yang serupa, dansesekali makian, "maunya apa sih?"Diro hanya membalasnya dengan senyum seraya menjelaskan, "maaf, salamitu hanya doa untuk adik." Belakangan, Diro mengetahui bahwa nama gadisitu, Dian, sebut saja demikian.Dua bulan bertugas di kota itu, Diro mendapat panggilan dari kantorpusat untuk memberikan laporan tugasnya. Diro pun kembali ke Jakartauntuk waktu dua pekan.Sementara di kota X, pagi harinya. Dian belum merasakan apa pun. Namunkeesokan harinya, gadis itu baru menyadari ada yang ganjil denganhari-harinya, baik pagi maupun sore. Ya, Dian merasa ada yang hilang.Setelah berpikir sejenak, barulah ia sadar, tidak ada lagi lelaki yangselama ini mengucapkan "Assalaamu'alaikum" kepadanya. Bahkan keesokanharinya, Dian mulai celingak-celinguk mencari lelaki pengucap salamitu. Satu-dua bis yang biasa ditumpanginya sengaja dibiarkan berlalu,"mungkin dia terlambat" pikirnya. Namun hingga hampir satu jam, yangdinanti tak kunjung tiba.Sepekan sudah Dian tak melihat lelaki pengucap salam. Sepekan pulatelinganya tak mendengar suara khas lelaki itu berucap,"Assalaamu'alaikum Dik... " Rupanya Dian mulai kangen dengan ucapansalam itu. Jika mulanya ia merasa ucapan salam Diro itu sebagai godaanlelaki iseng, ternyata kini ia merindukan ucapan salam itu.Dian hampir putus asa, hingga satu pekan berikutnya tak kunjungterdengar ucapan salam khas nan lembut itu. Sampai di satu pagi, dariarah belakang terdengar suara khas itu lagi, "Assalaamu'alaikum Dik..." Kali ini giliran Diro yang terheran-heran, karena jawaban lembut dariwajah manis yang diterimanya, "Wa'alaikum salam kak... Apa kabar? Kemana saja? Lama tidak berjumpa.... ..... "Sejak hari itu, keduanya menjadi akrab. Hari-hari setelah itu, diisidengan keriangan keduanya dalam setiap perjumpaannya. Sebuah buktinyata, bahwa ucapan salam jika diberikan secara ikhlas kepada siapapun, akan membawa kedamaian bagi yang menerimanya. Hanya beberapa bulansetelah itu, belum satu tahun Diro tinggal di kota X itu, Diro dan Diansepakat untuk menyatukan hati dalam bingkai rumah tangga.Maha suci Allah dan Rasulullah, yang mengajarkan kalimat"Assalaamu'alaikum warahmatullaahi wabarakaatuhu. .". (Gaw)[Non-text portions of this message have been removed

Tinjauan Kritis Masa Depan Gerakan Kaum Marhaenis

MARHAENIS BERGERAK !: ANTARA PENGUATAN AKAR RUMPUT DAN STRATEGI POLITIKNYA DI ERA NEOLIBERALISME*
Oleh: Budiman Sudjatmiko, MSc, Mphil**
`Di sini, di antara buruh dan tani, kami generasi yang kalah menemukan kebenaran dan kekuatannya kembali. Inilah satu-satunya rumah kami…'---Emmanuel F. Lacaba---PengantarIndonesia sekarang merupakan satu masyarakat kapitalis yang bersifat setengah jajahan. Bilur-bilur luka sisa feodalisme pun masih di sekujur tubuhnya. Kapitalisme neoliberal telah menderas, terutama di era akhir kekuasaan Orde Baru. Ia lantas dilanjut dengan revolusi damai di era demokrasi liberal sekarang. Ada proses up and down dalam arus putaran sistem perekonomian di setiap kurunnya. Tiap-tiap terjadi penurunan, senantiasa disertai kebangkitan. Asia mengalami kebangkitan ekonomi kembali setelah diringkus oleh krisis pada tahun 1997. Meski bersifat parsial, tanda-tanda pemulihan menyeruak kembali. Sepanjang ekonomi Amerika Serikat tetap tumbuh dan menyerap ekspor, ekonomi Asia berpeluang untuk mengekspor `surplus' komoditi yang tak terbeli oleh rakyat sendiri. Proses yang sangat ditolong oleh devaluasi mata uang inilah yang membuat ekspor mereka lebih murah ketimbang sebelumnya. Kapitalisme sudah merupakan motor perubahan sejarah yang `revolusioner' dalam hamparan global. Perubahan ini sekarang ditunjukkan oleh fenomena globalisasi. Bahkan seorang ahli Sosiologi Hubungan Internasional dari Inggris, Martin Shaw, menunjuk proses ini sebagi revolusi global. Ini adalah satu perubahan yang melibatkan bukan sekedar proses di bidang ekspansi-ekspansi hubungan pasar, komodifikasi di sembarang tempat dan komunikasi yang merangkum seantero dunia, melainkan juga memadu dengan tranformasi di bidang kultural dan transisi perimbangan kekuatan politik-militer internasional (Shaw, Martin, 2000,:'Theory of the Global State: Globality as an Unfinished Revolution').Dihadapkan pada semua itu, bakal tunggang-langgangkah kaum Marhaenis dalam menyongsongnya? Atau, apa yang bisa dilakukan? Batu-batu karang macam apa yang akan menghadang Gerakan Marhaenis? Inilah batu-batu karang yang mesti ditaklukan itu:Batu Karang ke 1: Indonesia, Panggung yang DiretakkanPada jurusan lain, kita melihat Indonesia adalah entitas yang sedang diretakkan dari dalam. Dalam puspa-ragamnya, Indonesia rupanya mengidap muatan konflik yang mengancam kelangsungannya sebagai bangsa manusia yang beradab. Barbarisme acapkali menghampiri mengendap-endap membawa penggada terror di balik jubah perbedaan agama, etnis dan provinsialisme. Ia muncul dalam rupa para demagog yang mendaraskan prasangka-prasangka etnis dan keagamaan secara cupet, bersitegang dan berkelahi antar sesama, sebagai akibat dari tunggang-langgangnya eksistensi mereka, untuk kemudian lari ke pelukan puak-puaknya sendiri-sendiri, ditelikung arus pusaran global dan sisa-sisa feodalisme masa lampau. Tak terhindarkan, yang terjadi hari ini di sini adalah serupa pusaran angin puting beliung yang berakibat –sebagaimana diujarkan oleh Karl Marx sebagai-- `all that is solid melts into air' (semua yang kokoh, kini telah menguap ke udara). Yang dahulu `dimapankan' oleh Orde Baru dalam bingkai integrasi nasional, kini sudah dikoyak-koyak. Ia dikoyak oleh perkelahian antar umat beragama, perkelahian antar etnis, antar kampung, antar golongan politik, pusat versus daerah, dan konflik dalam skala besar, misal: tuntuan merdeka dari Aceh, Papua, Riau dan seterusnya (Aditya, Willi, 2003, `Sosialisme: Sebuah Jawaban Masa Depan Indonesia').Indonesia kini mirip mozaik yang sedang menuju berserakan oleh proses semua ini. Persis seorang bocah yang bersijingkat di tepian ngarai yang tiap-tiap saat siap meremuk eksistensinya. Tak ada yang lebih tepat dalam membuat lukisan watak ini semua, selain sebagaimana yang pernah diujarkan oleh Antonio Gramsci (dia sendiri seorang teoritisi dan praktisi gerakan buruh Italia), bahwa: `Manusia hanya berada di permukaan dangkal peradaban; jika tergores sedikit saja, maka lapisan serigala dalam dirinya akan muncul dengan cepat.' Konflik-konflik tersebut punya akar pada kepentingan kesejahteraan ekonomi masyarakat sebagai mata air keadilan sejati mereka. Jika keadilan sejati ini dicederai, maka aus lah segenap ikatan. Dengan begitu, akar dari segala akar ribut-ribut ini adalah ketidakadilan ekonomi. Inilah hasil sementara dari reformed capitalism di Indonesia, sebelum nantinya dilanda anarkhi berlarut-larut dalam proses produksi, di mana produk komoditi yang dihasilkan tidak selalu untuk mencukupi keperluan si Marhaen di negeri ini.Benar, Indonesia berada dalam satu anak tangga transisi: yakni fase reformasi sebagai koreksi tambal sulam terhadap perekonomian Orde Baru yang kroni-kapitalistik dan otoritarian dalam praktik politiknya. Benar pula bila koreksi atas Indonesia sekarang belum lepas dari kerangka kapitalisme. Di awal Orde Baru 1965/1966 bisa kita tunjuk sebagai satu kurun penetrasi kapitalisme a la Perang Dingin. Bahkan di sana-sini masih mencirikan proses akumulasi kapital secara primitif dan berdarah-darah khas Eropa jauh sebelum Revolusi Industri. Di tahun 1998 hingga kini, kapitalisme kian mengintensifkan penetrasinya. Beda dengan Eropa, di mana kapitalisme merupakan satu cara hidup yang memacu orang untuk berproduksi dan mendorong etos untuk manufacturing (proses kerja mengolah bahan baku menjadi bahan jadi), maka kejadian di Indonesia sekarang adalah kapitalisme yang lebih banyak mendorong masyarakat untuk mengkonsumsi. Proses produksi yang dilakukannyapun kian dijauhkan dari sektor riil.Penjelasannya adalah sesederhana ini: semua ribut-ribut ini berujung pada rancangan besar, di mana seluruh bangunan sistem saat ini dimobilisasi untuk menjawab tantangan Indonesia kontemporer. Rancangan ini dalam rupa agenda revisi atas tatanan dan praktik ekonomi (kroni-kapitalistik) dan politik (otoritarian) Orde Baru yang primitif dan usang (obsolete). Demokrasi lantas dirancang menuju liberalisme dan ekonomi direstrukturisasi agar sepenuhnya kapitalistik lewat agenda neoliberalisme yang sedang dirancang-bangun dalam berbagai rupa. Proses inilah yang persis ditunjuk oleh Fukuyama sebagai `Worldwide Liberal Revolutuion', satu revolusi liberal seluas dunia (Fukuyama, Francis, 1992, The End of History and the Last Man). Semua yang kokoh kini memang benar-benar telah menguap ke udara…Batu Karang ke 2: Disorganisasi SosialSaya merasa pasti bahwa kehancuran ikatan kesetiakawanan sosial, khususnya pada fase-fase awal reformasi, merupakan satu di antara sekian akar lumpuhnya kedaulatan rakyat. Perlu kiranya kita menengok kasus serupa itu di Amerika Latin. Khususnya pada sekitar 10 tahun hingga sekitar 15 tahun pertama era demokratisasi: artinya sebelum menderasnya kemenangan politik sayap kiri (Sosialis dan Nasionalis Kerakyatan) dalam pemilu 5 tahun terakhir ini. Ilmuwan politik dari University of New Mexico, Kenneth M. Roberts berkata bahwa kesenjangan sosial sebagai dampak ekspansi neoliberalisme di Amerika Latin –yang diimplantasikan di sana sejak awal oleh kediktatoran-kediktatoran militer hingga setelah kejatuhan mereka di akhir 1980-an— rupanya tidak serta merta memunculkan solidaritas horizontal di kalangan rakyat. Fenomena ini menarik karena wilayah tersebut dikenal sebagai wilayah di mana solidaritas horizontal berbasis lintas-kelas (misal: populisme Peronista) maupun berbasis kelas (Sosialisme Marxis) memiliki akar yang dalam. Ketika neoliberalisasi kian mensenjangkan jarak sosial, rupanya ikatan kelas ikut diluluhlantakkan. Seterusnya, Kenneth Roberts berkata bahwa artikulasi politik di Amerika Latin pada periode awal transisi demokrasi tidak mendasarkan diri pada solidaritas horizontal. Yang terjadi malah pengukuhan ikatan vertikal di mana ikatan dengan kaum senasibnya malah meluntur.Apa yang bakalan saya jelaskan adalah ini: setelah ditekan cukup lama secara politik semasa era kediktatoran militer (mulai dari pembunuhan, penculikan, penahanan, pembubaran partai-partai oposisi dan organisasi-organisasi rakyat, penyiksaan fisik maupun mental dan lain-lain serupa itu), serta pada saat yang sama dipaksa oleh rezim militer untuk menerima tindakan `pendisiplinan' melalui regulasi pasar neoliberal (mulai dari pemecatan dari pekerjaan demi efisiensi, pencabutan subsidi, penggusuran, pengurangan pajak bagi kalangan pengusaha kelas atas dan lain-lain serupa itu), preferensi-preferensi politik masyarakat bawah pada awalnya juga mengalami proses disartikulasi kelas. Hal ini terbukti pada awal-awal terjadinya reformasi dan pemilihan umum yang bebas dan demokratis. Namun begitu, ideologi neoliberal –yang sudah lama diimplantasikan-- tidak juga berkepentingan untuk menjadikan pilihan-pilihan politik masyarakat bawah `rasional'. Ini tidak serupa yang disangka oleh sejumlah kalangan bahwa: liberalisasi ekonomi akan menyebabkan rasionalisasi orang-orang dalam preferensi-preferensi politik dan budayanya.Anggapannya adalah, dalam proses itu, masyarakat akan mulai meninggalkan ikatan-ikatan lain, kecuali ikatan pada harapan menyejahterakan hidup mereka. Masyarakat dianggap bakalan taat dan tunduk pada hukum besi penawaran dan permintaan yang `rasional'. Bagaimana kita mestinya mencermati perkara ini?Kita tahu persis bahwa era transisi di banyak negara berkembang merupakan reaksi atas berkuasanya era otoriterisme. Kebiasaan politik penguasa otoriter di masa lalu adalah penyingkiran sektor-sektor rakyat dari ajang politik lengkap dengan aspirasi mereka yang (umumnya) berbasis, atau sekurangnya, berjargon kepentingan kelas bawah. Berbarengan dengan itu, kekuasaan otoriter Orde Baru justru merangkul dan mengkooptasi kelas menengah Indonesia. Kelas menengah ini lalu dijadikan junior partners dalam sistem politik otoriter maupun ekonomi pasar (baik yang ortodoks maupun yang terkendali). Ketika demokratisasi tak bisa dicegah pada 1998, salah satu yang menjadi pengusungnya tak lain adalah sebagian kelas menengah yang semasa rezim lama (ancient regime) menjadi junior partners itu.Dalam reformasi demokratis, sebagian lapisan oligarkis yang –kurang lebihnya `demokratis',dan tadinya mendukung rezim lama yang ditumbangkan-- juga diikutsertakan. Apa yang kita dapati di masa transisi ini adalah tak kurang dari struktur kekuasaan yang beralih dari core group lama rezim otoriter Orde Baru ke core group baru rezim sipil demokratis. Ciri khas dari proses tersebut adalah ini: core group baru tersebut, kebanyakan merupakan mantan para pemagang (apprentice) di rezim lama. Yang terjadi kemudian adalah pelanjutan (bahkan intensifikasi di sana-sini) dari kebijakan ekonomi neoliberal. Seiring itu, sebagian besar massa rakyat Marhaen yang sekian lama terdepolitisasi tetap ditinggal.Akibat dari penajaman kebijakan deindustrialisasi yang memusat pada liberalisasi perdagangan (yang dilakukan baik oleh rezim otoriter maupun rezim demokratis) adalah masa rakyat Indonesia kian tersegmentasi ke dalam unit-unit produksi kecil-kecilan. Kian banyak saja dari mereka menjadi buruh sub-kontrak, pekerja lepas, petani yang kehilangan akses atas tanah garapan, para pengecer kecil dan berkurangya konsentrasi-konsentrasi buruh dalam satuan besar di pabrik-pabrik plus jutaan massa penganggur. Kian berkurang ikatan berskala besar dalam proses produksi. Di Amerika Latin, neoliberalisme ditumbuhkan sejak awal oleh rezim militer untuk `mendisiplinkan' masyarakatnya agar tunduk pada aturan main pasar. Mereka tidak diperkenankan berideologi lain kecuali ideologi ekonomi neoliberalisme dan tidak berpolitik kecuali patuh pada otoriterisme. Di Indonesia neoliberalisme mulai terasa kian menyengat semasa menjelang keruntuhan rezim otoriter Orde Baru. Terutama setelah paket Structural Adjustment Programme (SAP) disepakati Presiden Soeharto (saat itu) karena krisis ekonomi 1997. Sedikit ke belakang, dalam riwayatnya kekuasaan kapital sejak Orde Baru kita dapati tahapan-tahapan seperti ini: 1) tahapan `depolitisasi tanpa disiplin pasar' pada awal Orde Baru. Ia ditandai diantaranya dengan dijauhkannya rakyat Marhaen dari politik dan dipaksanya mereka melepaskan sejumlah hak-hak sosial mereka atas alat produksi, terutama tanah….sementara sejumput orang diberi perangsang untuk berwiraswasta dengan bimbingan/favouritism oleh pemerintah ;2) tahapan `depolitisasi dengan disiplin pasar' pada 1987. Pola ini dicirikan di antaranya dengan diluncurkannya paket debirokratisasi dan deregulasi, rangsangan liberalisasi dalam berbagai jalur perekonomian strategis, terutama perbankan…namun rakyat tetap dijauhkan dari politik, dan yang selanjutnya adalah ;3) pola `politisasi dengan disiplin pasar' sejak tahun 1999. Kejadian-kejadian pentingnya di antaranya adalah Pemilu 1999 (pemilu bebas pertama setelah tahun 1955), yang didahului oleh paket Structural Adjustment Programme a la IMF dalam bentuk swastanisasi, pencabutan subsidi, liberalisasi impor dan sektor keuangan dan serupa itu. Akan tetapi, di sepanjang proses itu ada yang tetap ajeg di dalamnya, yaitu pola hubungan elite dengan massa yang bersifat patrimonial.Sementara kalangan berujar bahwa modernisasi niscaya akan membuat masyarakat kian urban, terspesialisasi, melek huruf, terdidik dan serupa itulah. Berkait dengan ini, neoliberalisme ekonomi ditunjuk sebagi fase terbaru dari modernisasi. Betulkah begitu? Ketika modernisasi hanya bisa mendorong tiap-tiap orang bersimpuh pada `disiplin pasar' (memenuhi kaidah mekanisme penawaran dan permintaan dalam urusan-urusannya, mulai dari mencari pekerjaan sampai mengurusi kematian) , tapi saat berbarengan tidak membuat mereka melek secara politik (politically iliterate), akibatnya adalah paradoks ini:…terjadinya proses derasionalisasi politik di tengah proses rasionalisasi ekonomi neoliberal ! Ini ditampakkan dalam pilihan-pilihan politik yang kurang lebihnya dicerabut dari posisi sosial/kelasnya, dan sebaliknya condong pada ikatan politik vertikal dengan patron-patron lama. Pokok soalnya adalah: Patron-patron ini yang rupanya dulu merupakan junior partners kekuasaan otoriter lama, kini mereka menempati posisi eselon satu (core group) kekuasaan baru. `Perbaikan nasib' orang-orang ini menjadi pelakon utama yang independen dalam kekuasaan baru, menjadikan posisi sang patron lebih kuat. Dengan transformasi ini, kini mereka berkuasa, baik secara nasional maupun lokal. Namun, pada saat sang patron telah terlepas dari ketergantungannya atas kekuasaan otoriter lama, mereka kini justru tergantung (dependent) pada regulasi disiplin pasar. Soal itu berdampak pada perilaku politiknya sehingga menjadi lebih `terbuka' dalam mengartikulasikan kepentingan politiknya (yang tak mungkin dilakukan saat `magang' pada rezim lama). Orang-orang ini menjadi lebih `demokratis' (mereka harus dipilih kini, tak lagi `dikaryakan'). Orang-orang ini kini lebih memiliki kelonggaran ruang untuk mendorong karier politiknya dalam mekanisme pasar politik secara bebas. Bagi orang-orang ini, perbedaan antara otoriterisme Orde Baru dan era reformasi demokratis nyaris hanya berupa ini: Di masa lalu mereka mesti bersolek dan memacak diri di hadapan kekuasaan otoriter, kini orang-orang ini mesti bersolek dan memacak diri di hadapan altar jaman baru...Namun, kecenderungan itu kebanyakan terjadi di sebagian elite kekuasaan baru. Sementara pola hubungan antara patron dan klien-nya, yaitu massa pemilih di lapisan bawah, tetap dan ajeg. Bedanya adalah sang patron kini memiliki posisi rangkap, sebagai insan politik yang `berdaulat' (tak lagi menempel pada kekuasaan otoriter) dan sebagai insan ekonomi yang paripurna. Sang patron merupakan entrepreneur yang juga siap mempraktikan disiplin pasar pada klien-nya. Maka mulailah mereka mendirikan badan-badan usaha yang terintegarsi secara nasional dan, jika mungkin, secara global. Lantas, jika dilihat dari kacamata relasi kelas secara umum, mereka `memecah-mecah' lapisan bawah masyarakat (klien mereka sendiri). Mereka `ditebar' menjadi pekerja-pekerja sub-kontrak, pekerja lepas tanpa perlindungan hukum dan menjadi pendukung politik saat pemilu tingkat nasional maupun pemilihan kepala-kepala daerah.Dengan begitu, melihat melalui kacamata kaum Marhaenis, negara-bangsa Indonesia lantas, sebagaimana mau saya tafsirkan dari paparan di atas, layaknya pedang bermata dua. Pada satu sisi, negara-bangsa menjadi panggung (yang sudah retak-retak, tentunya), di mana kekuatan-kekuatan ekonomi global mentransmisikan kepentingan-kepentingannya melalui para pembuat kebijakan di level nasional maupun lokal. Sementara di sisi lain, kita berkepentingan agar negara menjadi parit pertahanan terakhir bagi sebuah nation. Ia diperlukan untuk menjaga syarat-syarat minimum eksistensinya dan segala sumber daya alam yang dikandungi tanah airnya. Ini persis pernah dikatakan oleh dua orang pakar Hubungan Internasional, Helen Milner dan Robert Keohane. Dua orang ini berkata bahwa efek dari globalisasi terus menerus dimediasikan melalui agen-agen dalam negeri. Ini tercermin pada: 1) pilihan-pilihan kebijakan yang dibuat oleh para agen politik dan agen ekonomi dalam negeri serta dampaknya pada kebijakan-kebijakan nasional dan institusi-institusi pembuat kebijakan, sebagaimana tercermin dalam perilaku politik mereka; dan juga pada 2) arah umum kebijakan nasional serta keberadaan institusi-institusi kebijakan nasional itu sendiri (Keohane, R. O., and Milner, Helen V., ed., 1999, `Inetrnationalization and Domestic Politics').Peluang: Masyarakat Sipil dan Nasionalisme Ekonomi Untuk menjamin agar dalam interaksi global ini syarat minimum eksistensi kita terjaga maka apa yang perlu dilakukan kaum Marhaenis? Di sini kita hanya perlu menengok lagi relevansi gagasan nasionalisme dalam bidang ekonomi sebagaimana dulu digagas Bung Karno. Nasionalisme merupakan gagasan yang kompleks, yang melibatkan jaringan antara berbagai rupa loyalitas. Loyalitas yang dimaksud adalah loyalitas individu sebagai anggota satu masyarakat, yang dibekali hak dan kewajiban warga negara dalam sebuah kesepakatan timbal balik dengan negara, serta peranan tiap-tiap orang sebagai produsen dan konsumen dalam ranah perekonomian. Ke ketiga ranah inilah, diskusi kita akan menjurus.Kita mendapati bahwa ada kaitan yang kompleks dan problematik antara negara sebagai satu entitas politik dan bangsa sebagai satu konsep historis dan kultural. Maksud saya begini: jika Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan satu konsep politik yang `hanya' dinyatakan dan didokumentasikan melalui teks proklamasi dan Pembukaan UUD 1945 yang memuat Pancasila, maka bangsa Indonesia adalah konsep yang sebelumnya dibentuk dari proses budaya, sejarah, ekonomi dan juga politik yang panjang. Ini berupa proses yang jauh lebih rumit dari sekedar perbincangan para pendiri republik (founding parents) pada tahun 1945. Ringkasnya: Bangsa adalah status yang hanya bisa ada setelah (dialektika) sejarah (masyarakat) dan mesti ada sebelum negara politik berdiri. Dengan begitu, nasionalisme adalah ide yang telah menuntun agar bangsa melahirkan negara dan negara pada gilirannya hendak melindungi serta mensejahterakan segenap elemen bangsa. Pada kesempatan lain saya bakal tarik diskusi ini lebih mendalam.Namun begitu, persoalan tidak bisa kita hentikan begitu saja di sini. Pada gilirannya, konsep kebersamaan manusia sebangsa dan kesatuan bangsa dengan negara dalam kawalan nasionalisme lantas juga menuntut berlakunya praktik-praktik demokratis dalam penyelenggaraan ekonomi. Penyelenggaraan ekonomi ini merupakan organisasi bagi kegiatan produksi dan konsumsi kebutuhan barang dan jasa sebagai alas material kehidupan bersama (shared life). Dengan begitu, orang-orang ini hendak diyakinkan bahwa hidup bersama dalam satu negara-bangsa akan menggenapi janji bahagia material dan spiritual. Pada urusan inilah yang Bung Karno sebut dengan Indonesia Merdeka sebagai jembatan emas menuju keadilan sosial dan kemakmuran !Karenanya, makna berbangsa dan bernegara Indonesia akan mengambil bentuknya yang paling material sekaligus substansial ketika isi kebijakan ekonomi pemerintah Indonesia menjamin keadilan serta kemajuan. Jika urusan-urusan seperti ini sudah bisa jelas, maka urusan-urusan sekitar loyalitas territorial (dalam bentuk integrasi NKRI) hanya merupakan turunan dari fakta bahwa negara memang diadakan untuk melindungi `hak-hak' dari `suku-suku bangsa' yang ada dalam wilayah tersebut.Di lain sisi, gagasan tentang loyalitas pada bangsa harus dirancang-bangun untuk disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan negara bangsa Indonesia. Ia terutama harus berurusan dengan berbagai rupa loyalitas yang berkembang dalam masyarakat sekarang. Misalnya loyalitas pada agama, pada sekte agama, pada klan, kedaerahan, kelompok kepentingan berbasis posisi dalam proses produksi (kelas) dan serupa itu.Satu langkah ke depan dari proses tersebut adalah tegaknya otoritas politik yang demokratis dan berdaulat dari, oleh dan atas bangsa Indonesia. Tentu saja, dengan mempertimbangkan kemajemukan di atas, otoritas inilah yang nantinya dikukuhkan dalam proses ekspansi produksi, perdagangan dan konsumsi. Dalam proses tersebut, aturan main maupun jurisdiksi ekonominya pada akhirnya menjangkau pada tumbuhnya integritas territorial. Namun apa lacur! Di era globalisasi kapital sekarang, rupanya dengan logika komersial yang sama, secara ironis kapitalisme neoliberal malah cenderung untuk melemahkan konsolidasi kebangsaan. Bisa jadi balkanisasi akan berlanjut dengan pemecahbelahan bangsa secara fisik dan cita-cita, yang pada masa kolonialisme lama malah telah dibantu konsolidasinya. Lihatlah! Sama-sama anak kandung dari kapitalisme, selisih antara kolonialisme klasik dengan neoliberalisme serupa langit dan bumi. Yang lama atau klasik membantu mengumpulkan identitas yang berserak menjadi satu bangsa, sementara yang baru atau neo (yang `nekolim !', begitu kata Bung Karno) malah melucutinya ! Hanya melalui pemahaman atas ekspansi yang terus menerus dari kapitalisme melalui negara bangsa inilah, maka kita akan digiring pada versi khusus nasionalisme. Versi ini memiliki watak ekonomi yang dominan, berupa `nasionalisme ekonomi.' Akan tetapi, nasionalisme ekonomi ini mesti menancap berakar pada konteks historis dan kultural yang khas. Puncak kekuatan nasionalisme ekonomi ini malah bukan terletak pada pertentangannya dengan norma-norma sosial dan kultural namun pada kemampuan untuk memadukannya guna memperkuat masyarakat Indonesia modern.Pada gilirannya, nasionalisme ekonomi ini condong memanifestasikan dirinya ke dalam dua cara yang saling mengkait; 1) karena negara bangsa bergantung pada kekuatan-kekuatan pasar dalam hubungannya dengan perdagangan internasional, investasi dan keuangan, maka secara alamiah ia condong beradaptasi dan menyatukan kekuatan-kekuatan pasar eksternal untuk kepentingan-kepentingan nasionalnya, dan; 2) negara bangsa, khususnya jika ia merupakan pemain ekonomi internasional yang lemah, punya kecondongan kian bergantung pada pasar internal ketimbang pada pasar eksternal.Dua pilihan tersebut adalah cerminan bentuk pilihan yang sistematis dalam menghadapi globalisasi. Namun begitu, pilihan tersebut mensyaratkan adanya koalisi kepentingan aktor-aktor politik dan ekonomi di dalam negeri.Strategi Makro: Koalisi Kepentingan NasionalSaya menandai bahwa pilihan-pilihan kebijakan itulah teramat ditentukan oleh koalisi kepentingan dari para pembuat kebijakan. Baik itu kebijakan yang menyangkut penjualan asset-asset negara ke tangan asing, kebijakan upah buruh murah dan serupa itu di satu pihak, maupun kebijakan nasionaliasi pertambangan, reforma agraria dan sejenisnya di pihak yang berlawanan. Sebagai misal, ketika Evo Morales di Bolivia atau Hugo Chavez di Venezuela melakukan nasionalisasi atas asset migas mereka atau ketika pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono memutuskan untuk mempertahankan kontrak karya Freeport, mereka ini melakukannya tidak di ruang hampa tubuh faal bangsa mereka masing-masing. Sebagai contoh: koalisi berdasar gagasan indigenismo di Bolivia memancarkan satu pembelaan terhadap mayoritas bumiputra Indian yang sudah selama sekitar 500 tahun tak memiliki akses atas sumber daya alam mereka. Bersama orang-orang inilah, Evo Morales menggalang koalisi kepentingan bangsa bagi program-program nasionalisasi maupun juga program revolusi lahan-nya. Tentu saja dalam kasus lain, kontrak karya Freeport yang terus dipertahankan bertolak dari kepentingan jenis lain. Yang pastinya tidak bertolak dari amanat penderitaan suku-suku pribumi Papua atau Indonesia pada umumnya. Dalam menghadapi proses tersebut, soal kelembagaan politik, agama, budaya serta dunia pendidikan memberikan respon masing-masing. Respon yang diberikan bisa progresif dan bisa juga konservatif dalam menghadapi revolusi perubahan posisi dan orientasi watak negara.Memang tawaran alternatif atas proses reorientasi negara yang kian masuk dalam dunia yang mengglobal bisa berupa-rupa. Ada yang menawarkan pendekatan theokratis, pendekatan sosialistis, populisme nasionalis atau berusaha meredam globalisme neoliberal dengan tetap mempertahankan pendekatan `kapitalisme yang berwajah kemanusiaan.'Semuanya memunculkan harapan dan visinya masing-masing. Manajemen atas harapan rakyat inilah, yang kemudian merupakan perkara pokok yang dihadapi oleh para pengambil kebijakan (eksekutif) atau para calon pengambil kebijakan yang saling bersaing satu sama lain (para politisi).Dengan begitu, pikiran-pikiran yang mesti digelar saat ini adalah mencari titik perjumpaan untuk memberi dua jenis rekomendasi ini: Rekomendasi kebijakan, sesuatu yang feasible secara teknis sekaligus politis untuk dieksekusi oleh para pengambil kebijakan; dan yang ke dua adalah rekomendasi perjuangan, yakni rekomendasi yang feasible jika pola kekuasaan politiknya diubah terlebih dulu atau telah memenuhi syarat. Strategi Mikro: Gerakan Marhaenis pastilah Gerakan Politik!Sungguh-sungguh saya meyakini bahwa tak satupun yang hadir di sini yang tak berkenan dengan sub-judul ini. Karenanya, mari kita tak terlalu berlarut-larut memperdebatkan urusan tersebut. Jangan sampai mengulang satu hal yang sudah jelas duduk perkaranya. Persoalan ini akan menuntut konsekuensi praktis, bahwa –mau tak mau—Gerakan Marhaenis tidak boleh mengharamkan perjuangan melalui partai (partai-partai) politik.Namun begitu, saya perlu kembali ke fakta-fakta ini: realitas masyarakat kita berserakan (disorganized) dalam proses produksi maupun politik dan massa Marhaen telah menjadi partikel-partikel atom (atomized particles) yang mengambang hilir mudik mengisi ruang-ruang publik kita yang kecil, dalam kompartemen-kompartemen yang terasing satu sama lain. Karenanya, agar Gerakan Marhaenis bisa bersatu, berbenah dan mengakar, ia hanya bisa dimulai dari ruang-ruang kecil yang tersekat sejak tingkat akar rumput ini. Secara simultan dan dialektis kita juga membangun atau memperkuat kelembagaan politik yang sudah ada melalui partai dan atau koalisi nasional berporos kaum Marhaen, agar kedaulatan rakyat dan seluruh bangsa bisa tegak kembali. Namun sebagai sebuah gerakan politik yang ideologis, perlu kiranya catatan-catatan ini dibaca: Jika ideologi merupakan satu cara pandang kita dalam melihat persoalan-persoalan masyarakat dan dunia yang diteorikan, maka kaum Marhaenis perlu melakukan rasionalisasi politik dalam bentuk satu platform perjuangannya sendiri. Rasionalitas ini mengabdi pada upaya menjawab persoalan-persoalan praktis. Rasionalisasi justru merupakan sebuah sentuhan politik programatis yang tak lain merupakan turunan dari Marhaenisme ajaran Bung Karno.Rumusan programatik dari gerakan politik kaum Marhenis, karenanya, merupakan terjemahan dari moralitas yang mengacu pada nilai-nilai (values) yang ada pada ajaran Marhaenisme. Acuan nilai inilah yang kemudian diubah menjadi satu kebajikan (virtue) dan kelaikan (feasibility) sebuah program perjuangan politik yang kontekstual dan dinamis. Dengan begitu, ia bisa dibaca oleh seluruh anatomi kehidupan politik dan masyarakat sipil untuk menjawab tantangan-tantangan kekinian. Sehingga pemihakan yang muncul tak lagi disekat oleh sentimen puak-puaknya sendiri-sendiri, budaya maupun gaya hidup masing-masing, melainkan lebih berorientasi pada pemecahan perkara-perkara alokasi sumber daya bagi kesejahteraan.Kecakapan kader-kader Marhaenis untuk mem-visikan (envisioning), menganalisa, menghitung, mengalokasi, memobilisasi sumber daya, merancang bangun baik institusi maupun instrumentasi, memonitor dan melakukan evaluasi, juga mesti ditumbuh-kembangkan. Sehingga gerakan bakalan cakap melahirkan kapasitas teknokratis di kalangan kader-kadernya yang ideologis dan berakar ke rakyat, seiring credo GMNI: Pejuang, Pemikir dan Pemikir, Pejuang. Ini tak lain adalah sebenar-benarnya mengembangbiak-kan intelektual organik bagi gerakan rakyat Marhaen, yang cerdas, militan dan rendah hati! Kita layak mencemaskan, jika klaim-klaim ideologis (apapun itu) dirasa sudah cukup memberi kita rasa puas. Karena klaim-klaim ini semata hanya bakalan lebih mengijinkan kita untuk menggerombol, sembari cuma bisa menyaksikan kereta jagatnata (juggernaute) globalisasi neoliberal berarak-arakan melintasi ruang-ruang berpikir kita yang sudah lama tak bertuan. Tanpa institusionalisasi secara politik dan merancang instrumentasi yang laik (feasible), Gerakan Marhaenis bakalan terpeleset menjadi satu perziarahan nostalgik yang hanya berakhir secara tunggang-langgang dan kapiran (self-defeating).
* Makalah ini disampaikan dalam Diskusi Panel `Tinjauan Kritis Masa Depan Gerakan Kaum Marhaenis', dalam rangka Pengukuhan Presidium 2006-2008 Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Perpustakaan Nasional RI, 7 Agustus 2006** Pemakalah adalah Sekjen Relawan Perjuangan Demokrasi (REPDEM); Departemen Pemuda dan Mahasiswa DPP PDI Perjuangan, dan; Direktur Eksekutif ResPublica Institute (for technology policy, strategic and political-economic studies)

SBY Lakukan Reshufle Radikal

[JAKARTA] Banyaknya pengusaha menjadi penguasa dinilai akan merusak moral bangsa Indonesia, terutama karena regulasi yang bakal dihasilkan bakal memelihara praktik money politic (politik uang) yang sudah tumbuh subur selama ini dan sudah menjadi iklim politik utama di Indonesia.
Kehadiran para pengusaha dalam birokrasi (penguasa) tidak akan membuat bangsa ini menjadi lebih baik, sebaliknya akan tambah buruk. Fenomena pengusaha yang jadi penguasa bisa merusak moral bangsa, kata pengamat dan analis politik dari Centre for Strategic and International Studies J Kristiadi kepada Pembaruan, Senin (23/4), di Jakarta.
Dia ditanya tentang pengusaha yang menjadi penguasa, seperti sudah beberapa kali dikemukakan Wakil Presiden (Wapres) Muhammad Jusuf Kalla sebelumnya.
Saat ini terdapat beberapa menteri yang pengusaha sekaligus penguasa (PengPenguasa), seperti Fahmi Idris (Kodel), Aburizal Bakrie (Grup Bakrie) dan Jusuf Kalla (NV Haji Kalla dan Grup Bukaka).
Sedangkan Bara Hasibuan, pengamat politik yang pernah bekerja di Kongres Amerika Serikat, mengakui, para pengusaha yang mau terjun ke dunia politik tidak bisa dilarang. Untuk menghindari mereka memanfaatkan posisinya bagi kepentingan bisnis, diperlukan mekanisme dan rambu-rambu yang ketat untuk mengatur hal itu.
Di Amerika Serikat, tuturnya, ada mekanisme blind trust, yakni pengusaha yang terpilih menjadi pejabat publik harus mengumumkan kekayaan dan aset-asetnya. Sebuah badan khusus bertugas memantau kekayaan itu, sehingga apabila terjadi penambahan kekayaan secara signifikan, bisa ditelusuri lebih jauh.
"Salah satu hal penting yang harus diingat oleh pengusaha yang kemudian menduduki jabatan publik adalah dirinya sekarang adalah pejabat publik yang melayani masyarakat. Kepentingan bisnisnya harus ditinggalkan," ujar Bara.
Di Indonesia, mekanisme pelaporan kekayaan pejabat memang sudah mulai dilakukan melalui Komisi Pemberantasan Korupsi. Tetapi laporan itu sering kali tidak ditindaklanjuti, apabila ada pejabat tertentu yang kekayaannya bertambah secara signifikan selama menduduki jabatan publik.
Kristiadi berpendapat, gagasan pengusaha merambah dunia penguasa didukung oleh iklim politik Indonesia saat ini dengan kecenderungan praktik politik uang yang merajalela.

Lebih Buruk
Bahkan, lanjutnya, kondisinya diprediksi lebih buruk karena semua regulasi yang dibuat nantinya hanya akan menguntungkan para pengusaha itu sendiri.
Supaya tidak banyak pengusaha merambah dunia politik dan menjadi penguasa yang bikin bangsa ini semakin rusak, Kristiadi berharap partai-partai politik harus bisa menghasilkan kader-kader yang berbobot, yang benar-benar bisa mengabdi untuk bangsa dan negara. "Mental dan semangat seperti itu harus ditanamkan melalui pengkaderan politik di dalam masing-masing partai politik," ujarnya.
Sementara itu Direktur Eksekutif Soegeng Sarjadi Syndicated Sukardi Rinakit mengingatkan Presiden Yudhoyono agar dalam merombak kabinet tidak memasukkan pengusaha dan orang-orang dari partai politik dalam kabinet mendatang.
"Kalau Presiden Yudhoyono memasukkan orang partai dan pengusaha lagi, maka 75 persen akan gagal. Orang punya duit dan berkuasa, nanti bisa jadi hasilnya lebik jelek dari menteri sebelumnya yang diganti. Profesional di sini, dia harus expert (ahli) di bidangnya dan bukan pengusaha," tandasnya.
Secara terpisah Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofjan Wanandi mengimbau pemerintah dan DPR membuat aturan main soal hak dan kewajiban seorang pengusaha yang masuk ke kancah kekuasaan, sehingga tidak menimbulkan distorsi kekuasaan yang disalahgunakan untuk kepentingan bisnisnya.
Dia mencermati, belum adanya peraturan yang tegas membuat persepsi yang timbul di publik seolah-olah penguasa memanfaatkan kekuasaan untuk keuntungan bisnisnya semata, dan bukan untuk kepentingan nasional. Oleh karena itu perlu rambu-rambu.
Sementara itu, beberapa pengamat menilai Presiden Yudhoyono tidak akan melakukan reshuffle secara radikal karena kurangnya dukungan politik pendukungnya. [A-21/M-11/A-16/B-15]

9 jenis SITI

9 jenis siti 1) Siti Khadijah
Beliau merupakan isteri Rasulullah s.a.w yang melahirkan anak-anak Rasulullah, setia danmenyokong Rasulullah walaupun ditentang hebat oleh orang-orang kafir dan musyrik,menghantarkan makanan kepada Baginda ketika Baginda beribadat di Gua Hira'.
2) Siti Fatimah
Anak Rasulullah yang tinggi budi pekertinya. Sangat kasih dan setia kepada suaminya Alikaramallahu wajhah walaupun Ali miskin. Tidur berkongsikan 1 bantal dan kadang-kadangberbantalkan lengan Ali. Rasulullah pernah berkata aku takkan maafkan kamu wahai Fatimah sehinggalah Ali maafkan kamu.
3) Siti A'ishah
Beliau isteri Rasulullah yang paling romantik. Sanggup berkongsi bekas makanan dan minumandengan Rasulullah. Di mana Nabi s.a.w minum di situ beliau akan minum menggunakan bekas yangsama.
4) Siti Hajar
Isteri Nabi Ibrahim yang patuh kepada suami dan suruhan Allah. Sanggup ditinggalkan olehNabi Ibrahim atas suruhan Allah demi kebaikan. Berjuang mencari air untuk anaknya NabiIsmail (Pengorbanan seorang ibu mithali).
5) Siti Mariam
Wanita suci yang memang pandai menjaga kehormatan diri dan mempunyai maruah yang tinggisehingga rahimnya dipilih oleh Allah s.w.t untuk mengandungkan Nabi Isa.
6) Siti Asiah
Isteri Firaun yang tinggi imannya dan tidak gentar dengan ujian yang dihadapinya daripadaFiraun Laknatullah.
7) Siti Aminah
Wanita mulia yang menjadi ibu kandung Rasullullah. Mendidik baginda menjadi insan mulia.
8) Siti Muti'ah
Isteri yang patut dicontohi dan dijanjikan Allah syurga untuknya kerana setianya kepadasuami, menjaga makan minum, menyediakan tongkat untuk dipukul oleh suaminya sekiranyalayanannya tidak memuaskan hati, berhias dengan cantik untuk tatapan suaminya sahaja.
9) Siti Zubaidah
Wanita kaya dermawan yang menjadi isteri Khalifah Harun Al-Rashid. Sanggup membelanjakansemua hartanya untuk membina terusan untuk kegunaan orang ramai hanya niat kerana Allahs.w.t.

Bung Karno dan Tiga Besar (3)

Bung Karno Vs Tiga Besar (3)
Budiaro Shambazy Saat membacakan Proklamasi, usia Bung Karno (BK) 44 tahun, lebih tua setahun dari Mohamad Hatta. Orang yang dituakan BK tinggal sedikit, misalnya Haji Agus Salim (61), Ki Hajar Dewantara (56), atau Tan Malaka (48). Panglima Besar Jenderal Sudirman 15 tahun lebih muda, Wakil Panglima Besar Kolonel AH Nasution 17 tahun di bawahnya. Ketika menulis Indonesia Menggugat, BK baru 27 tahun—Pak Nas masih remaja. Perbedaan usia BK yang berkuasa selama 20 tahun dengan pemimpin parpol/TNI makin tahun makin kentara. Dalam bahasa Belanda ia diledek sebagai ouwe heer alias Pak Tua. BK kesepian waktu Bung Hatta mundur dari jabatan wapres tahun 1956. Ia sibuk dengan "Konsepsi", habis-habisan menjaga demokrasi parlementer, dirundung pemberontakan, mau dibunuh, sampai memaklumatkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Ia tokoh sentral yang belum tertandingi siapa pun. BK praktis jadi pemerintah yang tak berhenti gelisah barang sedetik pun. Ia makin jarang berkunjung ke daerah, tetapi sering ke luar negeri untuk kunjungan kerja maupun pribadi. Ia mengenakan seragam lengkap dengan deretan tanda jasa di dada untuk mengingatkan TNI ia-lah sang pangti. Dalam waktu 20 tahun ia menerima 26 gelar doktor kehormatan. Buku-buku yang dilahapnya berserakan di kamar tidur, toilet, ruang tamu, atau di meja makan. BK memiliki semuanya, kecuali uang. Anda pasti tak percaya sebagian duit membangun rumah di Jalan Sriwijaya, Jakarta Selatan, berasal dari utang. Semua orang datang tak henti meminta bertemu dia. Jam tidur dia hanya 3-4 jam sehari dan itu pun sering terganggu karena ia "turba" (turun ke bawah) melihat kehidupan rakyat tanpa pengawal dengan VW Kodok warna hijau kesayangannya. Mungkin idealnya BK mengakhiri karier politiknya saat memasuki usia 60 tahun. Mungkin Pak Amien Rais benar saat menyarankan usia capres pada pilpres tahun 2009 maksimal 60 tahun. Tetapi, siapa pula yang bisa mengatur napas politik BK? Dalam periode 1960-1965 itulah BK justru menjalani tahun-tahun yang paling menentukan masa depan politiknya. Jumlah penduduk Indonesia sekitar 100 juta. Kehidupan ekonomi memprihatinkan, antara lain karena pemberontakan PRRI/Permesta, politik konfrontasi terhadap Malaysia, dan perang merebut Irian Barat dari tangan Belanda. Rencana Pembangunan Nasional tahap ketiga yang bertujuan Indonesia tinggal landas masuk tahap industrialisasi tak berjalan meski BK memimpin Kabinet Kerja I sampai IV (1959-1964). Di saat yang sama BK menjalankan politik luar negeri yang ambisius dengan menyelenggarakan Asian Games (1962), Ganefo (1963), dan membentuk Conefo (1965). Lebih dari itu, BK direcoki lawan-lawan politiknya di luar maupun dalam negeri. Ia masih jadi sasaran pembunuhan, sering digosipkan mau dikudeta lalu diasingkan ke China, dirumorkan sakit keras, bahkan mau kabur ke luar negeri. Pada saat yang sama kepemimpinan BK makin tak kenal ampun, termasuk memenjarakan rekan-rekan seperjuangan sendiri. Lima tahun sejak 1960 ia makin sering mengangkat sekaligus memecat orang, termasuk mereka yang tergabung dalam "Kabinet 100 Menteri". BK disanjung-sanjung dengan gelar-gelar kosong, seperti "Penyambung Lidah Rakyat", "Presiden Seumur Hidup", atau "Pemimpin Besar Revolusi". Ia memaksa orang menari "lenso", menangkap Koes Bersaudara yang memainkan musik ngak-ngik-ngok ala The Beatles, atau dipuja-puji lewat lagu Oentoek Paduka Jang Mulia yang dinyanyikan Lilis Suryani. Ia terperangkap ke dalam slogan-slogan karangan dia sendiri, seperti "Manipol-Usdek" , "Tahun Vivere Peri Koloso", atau "Panca Azimat Revolusi". Ia terlalu sering mengelu-elukan Menpangad Letjen Achmad Yani atau Ketua Umum PKI DN Aidit jadi "putra mahkota" pengganti resmi. Kekuatan Tiga Besar dalam negeri yang dihadapi BK terangkum lewat Nasakom yang menurut dia merupakan "jiwaku". BK menegaskan yang menghalangi Nasakom akan disingkirkan karena masuk kategori "kepala batu". BK menjaga jarak dengan PNI untuk unjuk diri sebagai "bapak" penaung semua aliran. Makin tahun ia makin memanjakan PKI dan membiarkan mereka berkali-kali mengganggu kalangan beragama, misalnya lewat isu land reform atau kampanye anti-Tuhan. Meski sering bertikai secara terbuka, BK tak beda prinsip dengan kelompok nasionalis lainnya, TNI. Mereka sejalan dalam menghadapi pemberontakan PRRI/Permesta, perang pembebasan Irian Barat, dan politik konfrontasi. Namun, pertentangan BK-Pak Nas sejak 1950-an jadi faktor dominan yang ikut memengaruhi pecahnya G30S tahun 1965. Pangti ouwe heer yang berumur 64 tahun berhadapan dengan sesepuh TNI AD yang baru berusia 46 tahun pas tahun 1965. Kedua-duanya sama-sama berjuang dari bawah dan selama jadi pejabat publik menerapkan pola hidup sederhana. Pak Nas pembawa panji Orde Baru yang setengah hati, BK kalah dan terkurung sampai meninggal dunia. BK sering mengatakan, "Revolusi akan memakan anaknya sendiri". Pada detik-detik terakhir ia bisa saja melancarkan serangan balik, tetapi untuk apa kalau cuma memecah belah bangsanya sendiri? Tahun 1965 itulah akhir dari "Drama Indonesia Jilid Pertama". Mereka yang memujanya mungkin lebih banyak daripada yang membencinya, tetapi tak ada yang tak setuju bahwa BK jadi bintang utamanya. Bagaimana dengan "Drama Indonesia Jilid Kedua"? Tunggu tanggal mainnya.